Agar dapat lebih banyak, tentunya harus kerja lebih banyak dan lebih keras juga. Ini yang biasa kita dengar sebagai nasehat bisnis untuk sukses, tetapi hal ini tidak berlaku lagi di jaman hiperkompetisi seperti sekarang. Begitu banyak yang harus dikerjakan dalam waktu dan sumber daya yang sangat terbatas membuat kita harus mencari jalan “cerdas” untuk tetap unggul. Jika kita mengikut pepatah “jadoel” (jaman dulu) di kalimat pertama tersebut, bisa-bisa kita tersusul oleh pesaing sementara kita sedang menghabiskan waktu untuk bekerja keras menguras tenaga, pikiran, dan dana. Lalu apa solusinya? Baca terus yang berikut.
“Think Smart: Kenapa?”
Untuk mendapat “lebih” dengan kerja yang “kurang”, berpikir kreatif saja tidaklah cukup lagi. Yang lebih tepat untuk kita lakukan adalah berpikir cerdas. Mengapa demikian? Donna C.L Prestwood dan Paul A. Schumann, Jr mengusulkan beberapa alasan di bawah ini.
“Customer driven”
Kita dituntut oleh pelanggan (customer) kita (pihak-pihak yang mengkonsumsi layanan kita: atasan, bawahan, rekan sekerja, pembeli) untuk tampil prima secara terus menerus, dengan kejutan-kejutan baru. Hal ini perlu dilakukan agar kita tetap mendapat tempat di “hati” mereka. Jika kita tidak melakukan hal ini, apapun yang kita hasilkan menjadi membosankan (mudah ditebak, tidak ada yang baru, dan tidak menarik lagi).
“Competitor driven”
Pesaing (competitor) para pendatang baru juga memaksa kita untuk tampil “lebih” di segala bidang, misalnya: Lebih baik dalam kualitas produk, layanan, waktu, dan sumber daya. Tampil “lebih” di segala bidang sulit dicapai tanpa cara berpikir cerdas.
“Technology driven”
Teknologi merupakan bagian yang telah menyatu dengan denyut nadi dunia bisnis saat ini yang penuh dengan perubahan yang berputar dengan cepat. Teknologi berkembang pesat, demikian pula dengan perubahan dalam dunia bisnis. Untuk itu, mengikuti perubahan dunia bisnis saja tidaklah cukup, kita juga perlu merangkul perubahan dalam teknologi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka kita akan jauh tertinggal.
“Stakeholders driven”
Para pemangku kepentingan atau stakeholders disini mencakup pihak yang menjalin hubungan bisnis dengan kita. Mereka akan berbisnis dengan kita jika kita senantiasa menawarkan apa yang mereka perlukan. Masalahnya, kebutuhan pemangku kepentingan selalu berubah, dan ini harus kita cermati terus agar kita ataupun produk yang kita tawarkan tetap dibutuhkan dan dicari.
“Project driven”
Setiap produk atau jasa yang kita tawarkan merupakan sebuah proyek yang perlu diselesaikan dengan baik: tepat waktu, tepat dana, tepat sasaran, tepat guna, dan maksimal keuntungan. Ketika satu proyek selesai, perlu dilanjutkan dengan proyek baru. Proyek baru ini bisa saja merupakan perbaikan, modifikasi dari proyek sebelumnya atau proyek yang baru sama sekali.
”Resources driven”
Sukses sulit diraih oleh satu orang saja ataupun satu jenis sumber daya (resources) saja. Tenaga, pikiran, keahlian ataupun sumber daya yang dimiliki orang tersebut terbatas apalagi untuk menghasilkan sesuatu yang spektakuler. Untuk itu diperlukan cara berpikir “cerdas” untuk memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal, dengan hasil yang optimal juga.
“Culture driven”
Dunia bisnis beroperasi di tengah masyarakat yang menjadi target pasarnya. Kegiatan operasi bisnis ini tidak bisa lepas dari pengaruh budaya (culture) masyarakat sasaran. Untuk itulah, semua pihak yang berkecimpung di industri ini, harus selalu berpikir dan bertindak cerdas untuk terus mengamati dan menindaklanjuti perubahan budaya yang terjadi di masyarakat yang menjadi target pasarnya. Umumnya, jika terjadi pergeseran budaya, akan terjadi pula pergeseran selera dan kebutuhan (selera dan kebutuhan inilah yang perlu dipuaskan).
“Think Smart: Bagaimana?”
Nah, sekarang kita sudah sadar bahwa berpikir cerdas itu penting untuk tetap eksis di dunia bisnis. Lalu bagaimana caranya?
“Think Positive”
Umumnya, jika kita menghadapi masalah, atau hambatan yang besar, kita cenderung cepat menyerah. Tetapi, dengan berpikir cerdas, kita akan terpacu untuk berpikir positif. Dari pada mengeluh “Aduh, masalahnya besar sekali” atau “Ampun, hambatannya kompleks sekali”, orang yang berpikir positif akan berpikir “Masalah memang besar, tetapi pasti bisa diatasi”, atau “Hambatan memang kompleks, tetapi pasti bisa dicarikan cara untuk menyederhanakannya sehingga lebih mudah untuk ditangani.” Dengan cara berpikir seperti ini, kita akan terpacu untuk mencari “jalan keluar”. Siapa yang mencari, dia akan mendapat. Jadi, jika kita memfokuskan tenaga, pikiran untuk mencari solusi, pasti solusi akan kita dapatkan.
Umumnya, jika kita menghadapi masalah, atau hambatan yang besar, kita cenderung cepat menyerah. Tetapi, dengan berpikir cerdas, kita akan terpacu untuk berpikir positif. Dari pada mengeluh “Aduh, masalahnya besar sekali” atau “Ampun, hambatannya kompleks sekali”, orang yang berpikir positif akan berpikir “Masalah memang besar, tetapi pasti bisa diatasi”, atau “Hambatan memang kompleks, tetapi pasti bisa dicarikan cara untuk menyederhanakannya sehingga lebih mudah untuk ditangani.” Dengan cara berpikir seperti ini, kita akan terpacu untuk mencari “jalan keluar”. Siapa yang mencari, dia akan mendapat. Jadi, jika kita memfokuskan tenaga, pikiran untuk mencari solusi, pasti solusi akan kita dapatkan.
“Collaborate”
Sukses akan lebih mudah diperoleh dengan bantuan orang lain. Dari pada mengandalkan kekuatan atau keunggulan sendiri yang pasti terbatas pada satu atau dua bidang saja, mengapa kita tidak berkolaborasi dengan orang-orang lain yang memiliki keunggulan di bidang-bidang yang tidak kita miliki. Misalnya: untuk membuat sebuah film box office, dari pada hanya mengandalkan satu nama besar seorang bintang film, hasilnya akan lebih baik, jika berkolaborasi juga dengan sutradara unggulan, penata artistik unggulan, film editor unggulan, dan artis dan aktor unggulan lainnya.
“Outsource”
Seringkali kita terlalu fokus pada “biaya rendah”, sehingga kita terdorong untuk melakukan semuanya sendirian walaupun bidang-bidang yang kita kerjakan tidak terlalu kita pahami, atau tidak terlalu kita kuasai. Dengan demikian, kita sering terjerumus pada kualitas rendah dan keuntungan rendah juga. Tetapi, jika kita mau memfokuskan perhatian, pikiran dan sumber daya pada apa yang bisa kita lakukan secara unggul dan meng-outsource kegiatan lain yang hanya bersifat menunjang saja, pasti pekerjaan kita akan lebih cepat, dan lebih baik hasilnya, serta tentunya mengundang lebih banyak orang untuk membelinya. Misalnya, keunggulan kita adalah sebagai penulis, maka kita bisa meng-outsource proses editing, dan pembuatan gambar dan ilustrasi buku yang kita tulis pada orang lain. Dengan demikian, kita bisa proses penerbitan buku bisa lebih cepat, dengan hasil yang lebih baik.
“Buy in”
Cara ini mirip dengan outsource. Namun, outsource lebih fokus pada proses produksi, sedangkan “buy in” fokusnya adalah pra atau pasca produksi. Artinya, kita tetap fokus melakukan keunggulan kita (di produksi), selebihnya kita beli dari orang lain yang telah terbukti memiliki keunggulan di bidang terkait dengan yang kita butuhkan sebagai penunjang. Misalnya: Dari pada seorang pelukis harus memproduksi sendiri cat minyak, kuas, ataupun kanvasnya, akan lebih baik jika dia fokus pada proses melukis saja, sedangkan cat minyak, kuas dan kanvasi bisa dibeli dari orang lain. Daripada sebuah perusahaan melakukan penelitian terhadap perilaku konsumen secara umum, atau selera konsumen umum di kota atau negara tertentu yang belum lama telah dilakukan oleh lembaga riset lain, akan lebih “smart” jika perusahaan tersebut membeli saja hasil risetnya yang terkait dengan apa yang diperlukan.
”Technology enhanced efforts”
Bagaimana caranya memberikan pengetahuan tentang berbagai produk baru pada 100 tenaga penjual yang tidak pernah berada di satu tempat secara bersamaan, karena mereka selalu bergerak di lapangan, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lain? Jika harus dilakukan pelatihan secara tatap muka, dengan keterbatasan ruang pelatihan, tenaga pengajar, dan dana, pastilah proses sosialisasi ini akan makan waktu lama (jika satu kali training selama satu minggu, hanya bisa mengumpulkan 10 orang, maka untuk 100 orang akan diperlukan waktu 10 minggu atau 2,5 bulan). Begitu pelatihan 2,5 bulan selesai, ada produk baru lagi yang diluncurkan. Jika tenaga penjual dilatih terus, kapan mereka bisa melakukan tugas utamanya: menjual? Tentu saja hal ini memerlukan solusi cerdas dari cara berpikir cerdas. Solusinya adalah memanfaatkan fasilitas teknologi yang bisa mempercepat dan mempermudah penyampaian informasi kepada seluruh tenaga penjual secara “real time”, misalnya: melalui sarana telekomunikasi elektronik: teleconference, atau cara belajar baru, yaitu e-learning.
Berpikir cerdas memang penting dan perlu dicoba karena bisa mendorong kita untuk melakukan tindakan cerdas, sehingga kita bisa bekerja lebih sedikit dengan hasil yang lebih banyak dan profit yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar