White Swan Online Store

Rabu, 10 Desember 2008

Promosi Bimbingan Belajar White Swan 10 Desember 2008 - 31 Januari 2009





Coaching & Counseling

Tujuan umum Coaching & Counseling adalah bagaimana lahir KOMPETENSI bagi anggota (anak buah) yang berada di dalam kelompok kerjanya dengan jalan memfokuskan pengembangan anggota (anak buah), yang berorientasi pada memberikan kesempatan pada anggota melalui proses, komitmen yang terjaga pada anggota (anak buah).

Sebelum melakukan coaching dan counseling yang harus dilakukan lebih dahulu adalah :
  1. Mengenali tingkat kinerja yang dikehendaki.
  2. Mengenali tingkat kinerja saat ini dari anggota (anak bua ) dan menggambarkannya dengan akurat.
  3. Mengenali sumber-sumber masalah yang ada.
  4. Mempersiapkan solusi ataupun alternatif.

Coaching : Proses membimbing anggota (anak buah) dalam team, dan proses bagaimana pemimpin mengembangkan kesadaran diri anggota (anak buah) dengan melakukan tatap muka.

Tujuan Coaching :

  • Anggota (anak buah) mengatasi kesulitan didalam melakukan tugas dalam bekerja atau performance yang tidak mencapai standar.
  • Anggota (anak buah) dapat meningkatkan keahlian atau ketrampilan tertentu didalam bekerja.
  • Anggota (anak buah) dilimpahi kepercayaan yang lebih besar didalam bekerja.

Counseling : Proses membantu anggota (anak buah) untuk urusan yang terkait dengan pemahaman diri anggota (anak buah), penerimaan diri dan pertumbuhan emosi, serta kemampuan sumber daya manusia yang optimal dalam bekerja.

Tujuan Counseling :
Menolong anggota (anak buah) menangani masalah dan potensi pribadinya sendiri melalui proses terarah.

Prasyarat Coach & Counselor :
1. Kemampuan pemimpin untuk observasi.
2. Keahlian pemimpin untuk mendukung, mengurus, ngopeni anggota team (anak buah).
3. Keahlian pemimpin untuk menyimak.
4. Keahlian pemimpin untuk berkomunikasi dengan anggota team (anak buah).
5. Pemimpin harus mempunyai rasa empati yang kuat.
6. Pemimpin harus mempunyai kesabaran.
7. Pemimpin tanpa menghakimi anggota team (anak buah).

Empat langkah melakukan Coaching dan Counseling :

1. Langkah pertama :

  • Memberikan masukan yang sifatnya netral, menjelaskan kepada anggota (anak buah ) tentang standart kinerja dengan kinerja buruknya dan minta komitmen untuk memperbaiki dan mengubahnya.
  • Periksa secara berkala untuk peningkatan kinerja tersebut dan memberikan dukungan dan penguatan.

2. Langkah kedua :

  • Mengajak berkomunikasi (feedback), bila kinerjanya tidak meningkat ! Dapatkan pengakuan tentang kinerja buruknya dibanding standar kinerja yang seharusnya, tanyakan mengapa demikian ? Apakah anggota (anak buah) bisa melakukan ? Dan minta kepada anggota (anak buah) perubahan perilaku yang spesifik, berikan bantuan bila perlu.
  • Periksa secara berkala dan diperkuat serta selalu diingatkan kembali.

3. Langkah ketiga :

  • Bila kinerja tetap tidak berubah, berikan bimbingan untuk menganalisis kenapa masih gagal ? Dan berikan pemahaman mengapa kinerjanya seperti itu.
  • Ambil tindakan untuk menghilangkan faktor yang mempengaruhi kinerja buruk tadi.

4. Langkah keempat :

  • Melakukan diskusi di dalam pembimbingan bila kinerja buruk adalah memang hasil pilihan dari anggota (anak buah) tadi, gunakan tehnik coaching discussion untuk mengubah pilihan tadi. Bila perlu lakukan counseling.

Coaching Discussion :

  • Mencapai persetujuan tentang adanya problem.
  • Mendapatkan bersama alternatif / solusi.
  • Menemukan bersama tindakan penyelesaian.
  • Menyusun indikator hasil, sebagai follow up.
  • Melakukan reinforcement untuk hasil positif.

Selasa, 09 Desember 2008

Muda Senang, Tua Tenang

Mana yang Anda pilih: “Muda senang, tua tenang” atau “Muda resah, tua susah”? Tentunya opsi pertama yang menjadi pilihan Anda. Bagaimana caranya? Apakah Anda harus menunggu warisan miliaran rupiah? Apakah Anda harus mendapat lotere milyaran rupiah? Apakah Anda harus menjadi pimpinan di sebuah perusahaan besar? Ternyata bukan itu jawabannya. Ingin tahu rahasianya? Simak yang berikut.

Dimana Anda Saat Ini?

Apakah Anda saat ini sedang mengukir nasib Anda untuk menuju opsi pertama: Muda senang,
tua tenang? Untuk melihat posisi Anda saat ini, coba pertanyaan berikut:
Apakah Anda masih punya cicilan yang masih harus Anda lunasi?
Apakah Anda masih banyak menggunakan pinjaman untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?
Bagaimana dengan status rumah Anda? Apakah Anda masih tinggal di rumah sewaan?
Apakah Anda langsung mengalokasikan pengeluaran Anda ke beberapa pos yang harus Anda bayar padahal Anda belum lagi menerima gaji?
Apakah Anda merasa senantiasa dikejar-kejar oleh kebutuhan hidup kian hari kian menggunung?


Jika sebagian besar jawaban Anda adalah “Ya”, Anda perlu berhati-hati, karena jika kondisi ini terus berlanjut, kemungkinan Anda sedang menciptakan masa tua yang resah. Kondisi ini perlu Anda perbaiki. Beberapa strategi berikut
mungkin cocok untuk Anda terapkan.

Muda Senang, Tua Tenang
Ketika muda hidup senang, setelah pensiun hidup tenang. Ini mungkin merupakan cita-cita Anda juga? Jika demikian, Anda tidak sendirian. Banyak orang ingin hidup tenang ketika memasuki usia senja. Mereka ingin jalan-jalan keliling dunia, tidak perlu lagi bekerja untuk mencari uang. Kalaupun mereka tetap bekerja, tujuannya bukan untuk mencari uang menutupi kebutuhan sehari-hari lagi, melainkan karena pekerjaan tersebut memberikan mereka kesenangan dan kepuasan dalam melakukannya. Lalu, bagaimana caranya?

Tujuan Hidup
Agar hidup senang dan tenang, terlebih dahulu Anda perlu memiliki tujuan hidup. Tujuan hidup ini akan membantu Anda untuk menentukan langkah dan menyeleksi keputusan serta tindakan finansial yang akan Anda ambil untuk membentuk “masa depan” (baca: masa pensiun) Anda. Semakin jelas tujuan ini, semakin mudah menyusun rencana, memilih strategi, dan bertindak untuk mewujudkannya. Misalnya: saya ingin pensiun dengan uang satu miliar, satu rumah 800 m2 milik sendiri, dan dana bulanan yang secara otomatis bisa diperoleh untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan membandingkan kondisi Anda sekarang dan kondisi yang ingin Anda raih, Anda bisa menyusun strategi untuk merealisasikannya (menjembatani “gap” antara kondisi sekarang dengan kondisi masa depan.

Hidup Cukup
Mana yang Anda pilih: Terlihat seperti orang kaya atau menjadi orang kaya? Kebanyakan orang memilih untuk “terlihat” seperti orang kaya. Mereka mengendarai mobil mewah, tinggal di rumah mewah, dan terlihat menjejali tempat-tempat yang sering dikunjungi orang-orang “kaya”, walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai gaya hidup mewah mereka. Hasilnya: mereka banyak berhutang, dan hidup dari bulan ke bulan dengan strategi gali lubang tutup lubang. Bagi mereka, gaji atau pendapatan yang mereka terima tidak pernah cukup untuk menutupi kebutuhan mereka akan gaya hidup mewah. Jika mereka mau hidup cukup (hidup di rumah yang lebih kecil, tetapi milik sendiri, daripada rumah mewah, tapi sewaan; naik mobil lebih sederhana, tetapi tidak menggeragoti tabungan daripada naik mobil mewah yang membuat kantong kempes dan hutang menjulang), banyak yang bisa mereka hemat. Uang yang dihemat bisa dialokasikan untuk membuat hidup mereka lebih berarti dan masa tua mereka lebih tenang.

“Invest or Die.”
Uang yang bisa dihemat dari cara hidup cukup bisa diinvestasikan untuk kondisi emergensi dan untuk hari tua. Ke mana harus berinvestasi? Ada banyak bidang yang bisa menjadi pilihan investasi: tabungan, deposito, surat berharga, bisnis, real estate, dan asuransi.
Ada yang memilih surat berharga karena kemungkinan “gain” yang tinggi. Ada yang memilih tabungan dan deposito karena risikonya yang rendah. Ada pula yang memlih real estate karena nilainya yang selalu meningkat. Jenis asuransi yang menggabungkan beberapa keuntungan (kesehatan dan tabungan hari tua; asuransi jiwa dan kesehatan) banyak dipilih karena kebutuhan (untuk jaminan kesehatan) dan karena sifatnya yang melindungi dari risiko sekaligus sebagai wadah untuk menabung di hari tua. Tentunya Anda bisa memilih lebh dari satu instrumen investasi untuk menyebar risiko. Jika Anda bingung mana yang harus dipilih, Anda bisa berkonsultasi dengan konsultan keuangan dan memilih konsultan keuangan yang paling cocok dengan gaya investasi Anda untuk mempercayakan kelangsungan dan perkembangan uang Anda. Jika Anda tidak berinvestasi, maka uang Anda akan cepat “menguap” dan seringkali Anda tidak menyadari kemana uang tersebut pergi.

Tutup Kebocoran
Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Pepatah ini juga berlaku bagi “kebocoran” keuangan yang mungkin Anda alami. Masing-masing orang memiliki kemungkinan kebocoran keuangan yang berbeda karena perbeaan gaya hidup mereka.
Apa saja kemungkinan kebocoran keuangan yang bisa dihindari? Kebiasaan membeli makanan cemilan dan rokok merupakan beberapa contoh yang bisa menjadi sumber kebocoran: Rokok, makanan kecil, atau belanja hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan. Berapa uang yang Anda habiskan untuk membeli makanan kecil dalam seminggu? Berapa uang yang Anda habiskan untuk membeli rokok yang sudah terbukti bisa merusak kesehatan? Misalnya saja, rata-rata uang yang Anda habiskan untuk membeli hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu atau bahkan seharusnya tidak Anda beli adalah Rp. 50, 000 seminggu. Dalam satu tahun, jika Anda bisa menghentikan kebiasaan tersebut, Anda bisa menghemat Rp. 2.600.000 (52 minggu X Rp. 50.000). Dalam lima tahun, Anda bisa menghemat Rp. 13 juta. Uang sebesar ini bisa Anda manfaatkan untuk banyak hal, misalnya sebagai uang muka membeli mobil, pembayaran premi tahunan untuk asuransi kesehatan, atau asuransi hari tua Anda yang lebih bermanfaat bagi Anda. Jadi, kenalilah sumber kebocoran keuangan Anda yang harus Anda perbaiki.

Aset Positif

Pada dasarnya, kekayaan seseorang terdiri dari aset (aktiva) dan hutang (pasiva). Untuk mencapai hidup senang dan masa tua tenang, yang harus Anda tingkatkan adalah aset Anda yang positif, yaitu aset yang bisa menjadi mesin untuk “mencetak” uang lagi untuk Anda (misalnya: Rumah, surat berharga, tabungan, dan asuransi yang akan memberikan kembali uang yang Anda tanamkan plus keuntungan).

Hutang Positif
Hutang memang sebisa mungkin dihindari, terutama hutang yang bisa menggerogoti aset positif Anda. Tetapi, bukan berarti semua hutang adalah negatif. Ada pula hutang positif yang bisa Anda manfaatkan secara optimal untuk membeli aset positif yang tingkat pengembaliannya bisa membayar bunga dan pokok hutang yang akhirnya bisa menutupi hutang tersebut.

Nasihat Para Pakar
Selain strategi diatas, Anda juga bisa menyimak nasehat para pakar mengenai cara efektif untuk hidup senang sekarang,
dan hidup tenang di hari tua.

David Bach: “Pay Yourself First”
Ketika menerima gaji bulanan atau pendapatan dari hasil usaha, banyak orang yang langsung mengalokasikan dana tersebut ke pos-pos pengeluaran bulanan. David Bach memiliki pendapat yang berbeda mengenai cara mengalokasi dana seperti ini. Dalam bukunya “Automatic Millionaire”, David Bach menyarankan para pembaca untuk mengalokasikan uang yang mereka terima untuk terlebih dahulu membayarkan kebutuhan mereka sendiri yang lebih penting dari kebutuhan sehari-hari, yaitu kebutuhan jangka panjang, sebelum membayarkan kebutuhan lainnya. Dan ini harus dilakukan secara otomatis seperti halnya membayar pajak dan tidak boleh ditunda. Caranya: para pembaca dianjurkan untuk meminta jasa bank untuk langsung memasukkan dana yang diterima setiap bulannya ke pos “investasi masa depan” (pembayaran premi asuransi, ataupun bentuk investasi lainnya). Selain itu, Bach juga mengusulkan kepada pembaca untuk sebisa mungkin membayar apa yang mereka beli secara cash (tunai), terutama barang-barang konsumsi (yang habis dikonsumsi tanpa memberi keuntungan pengembalian) misalnya: barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti pakaian, makanan, entertainment.

Robert T Kiyosaki: Financial Freedom
Robert T Kiyosaki banyak menulis buku-buku laris mengenai pengelolaan keuangan pribadi. Dalam buku-bukunya tersebut, terutama “Rich Dad, Poor Dad”, Robert banyak menganjurkan para pembaca untuk memiliki kebebasan finansial, salah satunya adalah dengan menjadi “tuan” bagi uang yang dimiliki dengan membuat “uang” bekerja untuk kita.
Menurut “Rich Dad”, kemungkinan untuk meningkatkan penghasilan menjadi beberapa kali lebih besar akan lebih tinggi jika seseorang bisa memiliki usaha sendiri. Cara lain adalah dengan menyalurkan dana untuk diinvestasikan di berbagai instrumen (misalnya: surat berharga).
Bersenang-senang dahulu “berdarah-darah” kemudian; bersakit-sakit dahulu, “bersusah-susah” kemudian; atau bercukup-cukup dahulu sejahtera dan sentosa kemudian. Opsi mana yang Anda pilih? Jika opsi ketiga yang Anda pilih, mungkin Anda bisa mulai mencoba salah satu atau mengkombinasikan beberapa strategi yang baru saja selesai dibahas kali ini. Siapa tahu ada yang cocok untuk Anda? Selamat hidup senang dan hidup tenang.

4 Level Evaluasi dari Program Training

Bagaimana cara mengevaluasi program pendidikan dan pelatihan (diklat) yang bertalian dengan pembelajaran dan pengembangan individu dan organisasi? Aspek-aspek apa saja yang perlu untuk dievaluasi setelah program tersebut dilaksanakan?
Pengukuran efektivitas program diklat dapat dilakukan dengan metode 4 Level yang dikembangkankan oleh Dave Kirkpatrick. Supaya makin efektif, sebaiknya pengukuran empat aspek ini dilakukan secara kontinyu.

Level pertama (atau juga disebut sebagai Participant Reaction) adalah mengevaluasi efektivitas training dengan cara menanyakan kepuasan dari para peserta mengenai berbagai aspek pelatihan, misalnya kepuasan terhadap mutu materi, kualitas instruktur atau pun mutu tempat akomodasi pelatihan. Jadi dalam level ini yang jadi fokus pengukuran adalah kepuasan peserta pelatihan. Pengukuran semacam ini sudah lazim dilakukan oleh setiap penyelnggaran pelatihan.

Selanjutnya, dalam level kedua yang diukur adalah aspek pembelajaran para peserta - yakni apakah pengetahuan para peserta menjadi kian bertambah setelah mengikuti kegiatan training. Level kedua ini disebut juga sebagai level Learning. Evaluasi level kedua ini umumnya dilakukan dengan cara memberikan pre- dan post-test untuk menguji daya serap para peserta mengenai beragam materi yang telah diajarkan dalam proses pelatihan.

Level ketiga evaluasi bersifat lebih vital karena ia mengukur apakah materi pelatihan yang diajarkan telah diaplikasikan oleh para peserta dalam pekerjaan sehari-harinya. Level ketiga ini disebut juga sebagai Behavior Application. Jadi disini, dilihat apakah materi training memang benar-benar dipraktekkan untuk merubah perilaku para peserta menuju perilaku unggul yang diharapkan. Tak banyak perusahaan yang melakukan kegiatan evaluasi pada level ini - padahal aspek ini merupakan elemen yang sangat penting. Pengukuran level ini biasanya dilakukan enam bulan hingga satu tahun setelah proses pelatihan; dan difokuskan untuk melihat sejauh materi training memberikan dampak positif bagi perubahan perilaku dan peningkatan kinerja para peserta pelatihan.

Level pengukuran terakhir atau level keempat dari proses evaluasi training adalah mengukur apakah kegiatan training yang telah dilakukan dapat memberikan dampak positif bagi kinerja perusahaan atau unit bisnis dimana para peserta bekerja. Level ini disebut juga sebagai Business Impact. Secara spesifik, fokus dari pengukuran pada level ini adalah melihat sejauh mana kontribusi kegiatan pelatihan terhadap kinerja bisnis. Misal, apakah setelah dilakukan training mengenai selling skills, terdapat peningkatan volume penjualan atau tidak. Atau juga setelah dilakukan training mengenai Quality Management, apakah terdapat penurunan yang signifikan terhadap jumlah produk cacat atau tidak.

Para pengelola training semestinya selalu melakukan evaluasi atas kegiatan training yang telah mereka selenggarakan - baik pada level 1 dan 2, dan juga yang lebih penting pengukuran pada level 3 dan 4. Sebab hanya dengan itulah, kita bisa yakin apakah anggaran training yang telah diinvestasikan benar-benar memberi value bagi kemajuan perusahaan.

Pemberdayaan: Kemampuan Kepemimpinan yang Langka

Apa kata yang ampuh untuk meningkatkan kinerja karyawan? Banyak perusahaan mengira bahwa finansial menjadi faktor utama. Ada juga yang menjadikan hubungan kekeluargaan sebagai faktor penentu. Banyak seminar, lokakarya, atau acara-acara sejenis yang membahas soal peningkatan kinerja karyawan, dan tak sedikit pula khalayak yang mengikutinya. Sayangnya, tak sedikit pula yang frustrasi setelah itu. Mengapa? Sebab, pasca-acara itu, kinerja karyawan tetap saja masih jauh dari level yang diharapkan.

Apa yang salah? Atau tepatnya, apa yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja karyawan?

Pemberdayaan, itu kata kuncinya. Pemberdayaan adalah suatu proses untuk mengungkit potensi seseorang pada level optimalnya dalam mengerjakan sesuatu, bahkan dalam kondisi dan situasi tersulit sekalipun. Stephen R. Covey, penulis buku Principle-Centered Leadership, mengasosiasikan pemberdayaan dengan sangat menarik, yakni sama dengan menanam tanaman. Bagi Covey, tanaman akan tumbuh sempurna bukan hanya karena benihnya memang yang terbaik.

Sebenarnya setiap benih sudah memiliki energi untuk tumbuh sempurna, sehingga manusia tak perlu lagi mengutak-atik "isi" benih tersebut. Manusia hanya perlu menciptakan lingkungan yang kondusif agar benih tumbuh dengan sempurna. Kondisi lingkungan itu, di antaranya, tanah gembur, air, atau udara yang tepat bagi benih untuk tumbuh optimal. Prinsip itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia yang ingin tumbuh efektif dan optimal, yakni bahwa mereka memiliki energi untuk sukses. Hanya ia perlu lingkungan yang sesuai agar bisa sukses.

Lingkungan manusia memang tak sesederhana tanaman. Banyak hambatan yang mampu mereduksi energi sukses seseorang. Untuk itulah dibutuhkan pemimpin atau pembimbing/pendamping yang mampu membantunya tumbuh mencapai kesuksesan. Dan saat itulah istilah pemberdayaan sangat berperan.

Namun, persoalan mendasarnya adalah bahwa dalam proses manajemen modern ada pemimpin dan ada bawahan. Sementara itu, dalam hal pemberdayaan, konsep atasan-bawahan harus disimpan rapat-rapat agar bisa mencapai hasil maksimal. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa konsep atasan-bawahan ini tak mampu disimpan oleh mereka yang telah mengikuti seminar, rapat kerja, atau apa pun namanya, yang bertema peningkatan kinerja.

Mengapa konsep atasan-bawahan harus disimpan sementara? Sebab, ketika konsep itu disimpan, sebagai gantinya akan muncul konsep partnership. Hanya, dalam konsep inilah akan lahir kesepakatan menang-menang, dan ini merupakan paradigma dasar untuk menuju pemberdayaan.

Sama halnya dengan proses menanam tumbuhan, kesepakatan menang-menang bisa jadi merupakan kondisi benih yang prima, yang memiliki energi untuk sukses. Namun, ini bukan berarti si atasan harus bersikap seperti bawahan. Ia justru harus bersikap sebagai leader sejati, yang tahu kapan harus memposisikan diri sebagai pemimpin dan kapan sebagai partner.
Untuk itu, proses assessment karyawan yang saksama akan sangat membantu. Proses ini membuat kita tahu karakter, bakat, dan minat setiap karyawan. Proses assessment yang sukses akan melahirkan cara komunikasi yang tepat untuk mencapai kesepakatan menang-menang, yaitu cara berkomunikasi yang membuat para karyawan nyaman dan membuka diri terhadap setiap arahan atau perintah. Sebab, cara komunikasinya berbeda-beda untuk setiap karyawan disesuaikan dengan karakter, bakat, dan minat mereka.

Adakalanya seorang pemimpin harus keras dalam menghadapi karyawannya, tetapi adakalanya mesti lembut. Ada juga yang harus diperlakukan keras-lembut, sesuai penugasannya. Dan semua ini tergantung pada hasil assessment personal mereka.

Kemampuan mendeteksi dan mengenali karakter, bakat, dan minat memang menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin. Oleh karena itu, di perusahaan lebih dibutuhkan pemimpin yang bersikap sebagai leader ketimbang manajer. Seorang leader akan (dan harus) mampu tak hanya memimpin, tetapi juga menjadi partner para karyawannya. Adapun manajer umumnya hanya mampu mendelegasikan tugas ke para karyawannya. Perbedaan ini terlihat dari cara berkomunikasi dengan para karyawan.

Secara prinsip, dalam hal pemberdayaan, ada patokan yang jelas pada cara berkomunikasi dengan karyawan. Patokan itu bisa disingkat dengan "DR GRAC". Ini merupakan singkatan dari Desired Result (DR), Guideline (G), Resources (R), Accountability (A) dan Consequences (C).

Desired Result (DR)
Desired result (hasil yang diinginkan) menjadi titik krusial dalam memulai suatu tugas/pekerjaan. Bagaimana suatu hasil ingin terjadi atau terbentuk, ukurannya, waktunya, dan segala detail lainnya, ini harus dikomunikasikan dengan jelas. Seorang karyawan yang diberi tugas menjual suatu produk harus tahu berapa unit yang harus dijual per hari, kepada siapa, dan di mana lokasinya.

Guideline (G)
Ia juga harus diberi arahan (guideline) serta tips dan trik menjual dengan cepat tanpa harus memaksa. Juga, bagaimana mengatur strategi penjualan dari satu wilayah ke wilayah lain.

Resources (R)
Resources (sumber daya) yang harus ia pakai, teliti, dan pelajari juga harus diinformasikan. Resources ini tak hanya SDM, tetapi juga dalam bentuk peralatan, kalau memang ada.

Accountability (A)
Agar hasilnya tetap bisa dikontrol dan bisa dipertanggungjawabkan (accountability), mereka harus diberi batas waktu (deadline), tolok ukur keberhasilan, dan proses pelaporannya.

Itulah poin-poin standar yang harus dilakukan agar komunikasi, khususnya dalam hal pemberdayaan, dengan karyawan bisa efektif. Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa poin-poin tersebut akan lebih efektif apabila dilakukan dalam suasana diskusi antarpartner, bukan antara atasan dan bawahan. Ini akan memungkinkan para karyawan mengeluarkan pendapat. Bahkan seharusnya pemimpin bisa memancing para karyawannya untuk mengeluarkan pendapat.

Dalam suasana diskusi akan lahir rasa partisipasi dari para karyawan, sehingga mereka akan merasa bukan sedang diberi tugas atau wejangan. Mereka akan merasa seperti sedang melakukan sesuatu yang ia tentukan sendiri. Dengan cara berkomunikasi seperti ini, tentu potensi seorang karyawan akan muncul secara optimal, tanpa paksaan. Inilah pemberdayaan yang sesungguhnya.

Satu hal lagi yang membuat partnership berjalan mulus adalah kredibilitas dan kompetensi para pemimpin. Dua hal ini merupakan roh dari kesepakatan menang-menang, alias roh dari pemberdayaan itu sendiri. Dan, pemberdayaan merupakan roh dari peningkatan kinerja para karyawan. Tanpa pemberdayaan mungkin saja terjadi peningkatan. Namun, yang dilakukan oleh pemberdayaan adalah peningkatan yang berkesinambungan. Sebab, lewat pemberdayaan, juga akan lahir calon-calon pemimpin perusahaan generasi berikutnya, yang akan melanggengkan kesuksesan perusahaan dari generasi ke generasi.

Kiat-kiat Agar Pelatihan Berjalan dengan Sukses

Pelatihan karyawan sering kali kurang efektif karena peserta kurang menyadari manfaat pelatihan itu sendiri. Padahal banyak manfaat bisa diraih dari mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat mereka bekerja atau tempat lain. Susan M Heathfield, konsultan sumber daya manusia (SDM), memberikan sejumlah tips agar pelatihan berjalan efektif.

  1. Pastikan pelatihan itu menjadi tanggung jawab peserta karena itu harus dilakukan dengan serius. Termasuk keikutsertaannya secara aktif dengan menampilkan sejumlah gagasan baru dan bisa diterapkan saat kembali bekerja.
  2. Pastikan pelatihan itu memberikan tugas bagi para pesertanya. Mulai dari membaca hingga merangsang keikutsertaan aktif para peserta. Itu bisa dilengkapi dengan sistem nilai agar peserta kian termotivasi. Penghargaan bagi peserta yang berprestasi dan rangsangan karier menarik bisa ditawarkan agar mereka lebih bersemangat menjalani pelatihan.
  3. Pengawas pelatihan dan manajer harus terus-menerus memantau dan mengetahui apa saja yang disampaikan saat pelatihan itu. Seorang pengawas juga bisa menentukan bentuk pelatihan yang sesuai bagi karyawan sehingga mereka bisa menerapkannya dan memperoleh gagasan baru yang menarik. Bahkan, pengalaman seorang petinggi perusahaan bisa diceritakan pada bawahan untuk bahan diskusi yang menarik.
  4. Kebanyakan tenaga pengawas miskin pengalaman melatih dalam pekerjaannya. Bahkan, jarang tenaga pengawas atau peserta yang bisa mempraktikkan hasil pelatihan pada kegiatan bekerja sehari-hari secara maksimal. Karena itu, perlu dukungan tenaga personalia atau manajemen yang mampu menjabarkan kebijakan perusahaan kepada tenaga pengawas agar pelatihan berjalan lebih efektif.

Mengenali Karakteristik Pekerja Berpengetahuan

Sebuah artikel menarik dari Andiral Purnomo, Associate Partner Dunamis Organization Services

Saya yakin Anda semua tidak asing lagi dengan istilah blue collar dan white collar. Blue collar atau pekerja kerah biru adalah istilah yang digunakan untuk pekerja yang mengandalkan kemampuan dan keterampilan tangan serta fisiknya, atau lebih banyak disebut sebagai buruh. White collar atau pekerja kerah putih digunakan untuk pekerja kantoran atau administrasi.
Di dalam era ekonomi berbasis pengetahuan saat ini ada istilah baru yaitu gold collar atau lebih sering lagi disebut sebagai knowledge worker--pekerja berpengetahuan. Mengapa istilah tersebut kian populer? Apakah yang membedakan mereka dengan blue collar dan white collar?
Gold collar atau pekerja berpengetahuan adalah suatu istilah yang diberikan untuk pekerja yang memiliki pengetahuan dan kompetensi yang tinggi dan sangat dibutuhkan untuk menangani suatu jenis pekerjaan. Mereka merupakan aset yang sesungguhnya bagi suatu organisasi karena kemampuan dan energinya memberikan kontribusi yang nyata bagi kinerja organisasinya. Organisasi akan merasa sangat kehilangan apabila pekerja berpengetahuan ini keluar dari perusahaannya baik karena pindah maupun pensiun. Pasalnya, sering kali pengetahuan dan kompetensi mereka belum atau tidak tergantikan oleh pekerja lainnya.
Mungkin Anda akan bertanya, siapa sajakah yang layak disebut sebagai pekerja berpengetahuan? Apakah saya atau pekerja saya layak disebut sebagai pekerja berpengetahuan? Bagaimana ciri-cirinya?
Seorang customer service, manajer, ataupun salesman bisa saja disebut sebagai gold collar atau pekerja berpengetahuan sepanjang mereka adalah pekerja yang memang memiliki pengetahuan dan kompetensi yang andal dan memberikan kontribusi yang nyata bagi kinerja organisasinya. Namun, sebaliknya, bisa saja seorang pemimpin departemen atau divisi tidak layak disebut sebagai pekerja berpengetahuan jika pengetahuan dan kompetensi mereka tidak berkembang dan memberikan kontribusi nyata bagi organisasinya. Jika mereka hanya mengandalkan kemampuan dan pengetahuan mereka yang itu-itu saja untuk bekerja.
Sulitkah kita mengenali dan mengembangkan pekerja menjadi pekerja berpengetahuan? Mengenalinya relatif mudah, tetapi mengembangkannya memang tidak mudah. Dibutuhkan seni kepemimpinan tersendiri. Pada kesempatan ini, saya akan mengajak Anda mengenali empat ciri pekerja berpengetahuan atau gold collar.

#1 Ciri pertama pekerja berbasis pengetahuan adalah memiliki proaktivitas tinggi.
Menurut Stephen R. Covey, orang yang proaktif adalah seseorang yang memiliki rasa tanggung jawab dan mengambil inisiatif untuk menyelesaikan tugasnya sesuai dengan nilai yang diyakininya. Oleh karena itu, mereka bukannya orang yang puas dengan hasil yang pas-pasan. Mereka tidak mudah menyerah jika menghadapi tantangan atau masalah. Rasa tanggung jawab yang ada mendorong mereka untuk mencari berbagai macam alternatif guna menyelesaikan pekerjaannya.

#2 Ciri kedua adalah adanya kemauan dan kemampuan belajar yang tinggi.
Orang ini sering disebut sebagai lifelong learner atau pembelajar seumur hidup. Saya pribadi lebih senang menyebutnya sebagai pembelajar sejati. Mengapa demikian? Rasa tanggung jawab terhadap perkembangan kemampuan dirinya dan terhadap pekerjaannya mendorong orang ini selalu mengambil pelajaran dari berbagai kesempatan. Orang ini tidak segan-segan untuk bertanya dan belajar dari rekannya, atasannya, dan bahkan dari stafnya. Dia mau belajar dari umpan balik yang diterima. Dia mampu belajar dari pengalaman baik maupun pengalaman buruk dirinya ataupun orang lain. Apakah ada orang seperti ini? Banyak, dan Anda mudah mengenalinya. Biasanya orang ini rendah hati. Bagai ilmu padi, makin berisi makin merunduk.

#3 Ciri ketiga adalah mentalitas berkelimpahan atau sering disebut abundance mentality.
Oleh karena kerendahan hati orang ini, maka tak segan-segan dia berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Dia tidak segan berbagi dan membantu kemajuan stafnya atau rekan kerjanya. Istilah knowledge is power tidak ada dalam kamusnya. Baginya, knowledge sharing is power. Dengan berbagi pengetahuan, dia meyakini tidak ada yang berkurang dari dirinya, bahkan pengetahuannya akan makin bertambah. Alasannya, dengan mau berbagi pengetahuan, orang lain pun tidak akan segan-segan untuk berbagi dengannya.

#4 Ciri yang terakhir adalah kemampuan bersinergi.
Stephen R. Covey menyatakan bahwa bersinergi adalah kemampuan mewujudkan suatu kerja sama kreatif yang dilandasi oleh kemampuan menghargai perbedaan. Seorang pekerja berpengetahuan menyadari bahwa hasil terbaik akan dicapai apabila dia mampu menyinergikan pengetahuan dan kemampuan dirinya dengan orang lain. Kemauan belajar yang tinggi membuat orang ini tidak merasa terancam dengan kelebihan orang lain. Proaktivitas dan mentalitas berbaginya membuat orang ini tidak segan untuk menyampaikan ide dan pandangannya walaupun harus berbeda dengan atasan atau seniornya. Kombinasi kemampuan memahami dan belajar dari sudut pandang orang lain, serta kemampuan berbagi dan menyampaikan pandangannya, pada akhirnya akan menghasilkan ide-ide baru, kreatif, dan kadang merupakan suatu terobosan-terobosan baru.

Anda tidak akan sulit menemukan pekerja dengan karakteristik tersebut pada organisasi-organisasi yang memang sungguh-sungguh memandang karyawannya sebagai aset perusahaan yang paling berharga. Organisasi tersebut tak hanya mengembangkan kemampuan teknis semata, tetapi juga mengembangkan kemampuan belajar dan berbagi. Di samping itu, mereka mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif di mana kesempatan pekerja untuk berinovasi dan mencoba cara-cara baru yang lebih baik didukung bukan hanya dari segi moral, tetapi juga finansial. Organisasi dengan pekerja berbasis pengetahuan inilah yang layak disebut sebagai perusahaan berbasis pengetahuan atau Knowledge Enterprise.

Hubungan Kerja Erat

Anda ingin merekatkan hubungan antarkaryawan agar langgeng? Coba saja resep yang diramu oleh peneliti dari Amerika ini. Para peneliti yang dipimpin oleh James E Deal dari Universitas Arizona mewawancarai 119 perusahaan. Hasilnya, hubungan kerja yang positif ternyata bukan hubungan yang tanpa masalah. Hanya saja, Anda dan rekan kerja Anda harus sama-sama sepakat bahwa memang ada masalah.
Apabila Anda beranggapan bahwa ada masalah sedangkan rekan Anda menganggap segala sesuatu berjalan lancar, maka Anda berdua menghadapi ketidakbahagiaan. Semakin besar kesamaan persepsi, semakin langgenglah hubungan kerja. Juga, semakin puaslah rekan kerja itu terhadap hubungan mereka. Jika mereka merasa bahwa rekan kerjanya semakin menghargai dan memahami perasaannya, maka mereka semakin merasa menjalani komunikasi yang terbuka dan positif.
Para peneliti itu sempat terkejut ketika mengetahui bahwa derajat kesamaan persepsi itu tak ada hubungannya dengan berapa lama hubungan kerja mereka. Selama dua tahun penelitian, derajat kesamaan persepsi itu juga tidak meningkat.
Laporan peneliti itu juga mengungkapkan bahwa kesamaan persepsi itu telah dibangun sejak awal hubungan. Karena itu periode perkenalan ikut menentukan kadar kesamaan persepsi. Meskipun begitu, penyamaan persepsi juga bisa diperbarui terus selama masa hubungan kerja.

Memberi Inspirasi Bukan Memerintah

Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, memilih strategi untuk mengatasi masalah, menyusun rencana kerja, mencari kesempatan—semua kemampuan teknis ini memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Setinggi apa pun kemampuan teknis seorang pemimpin, tidak akan ada artinya, karena ia tidak bisa sendirian dalam menjalankan roda kegiatan perusahaan; ia perlu orang lain untuk membantunya meraih sukses lebih cepat dan lebih baik. Bagaimana mendapatkan bantuan orang lain? Beri inspirasi, bukan perintah—ini rahasianya. Lalu, bagaimana cara memberi inspirasi? Simak yang berikut.

Mengapa Inspirasi Bukan Perintah?
Pak Arief, kepala cabang sebuah bank swasta nasional, sedang berkeliling memeriksa kebersihan berbagai ruangan di kantor cabang yang dipimpinnya. Ia mendapatkan bahwa toilet untuk nasabah terlihat kotor. Lalu ia memanggil tim kebersihan untuk segera membersihkan toilet tersebut. Anggota tim kebersihan mengeluhkan kepada Pak Arief bahwa toilet sudah tiga kali dibersihkan pagi itu, tapi menjadi kotor lagi. Lalu, apa yang harus Pak Arief lakukan? Memberi perintah lagi untuk membersihkannya atau memberi inspirasi untuk membersihkan toilet tersebut.

Memberi Perintah.
Jika Pak Arief memerintahkan lagi tim kebersihan untuk membersihkan toilet yang kotor, maka berikut inilah yang mungkin akan terjadi.
Pak Arief: Pak Sarto, Bu Parni, bisa tolong bersihkan toilet ini lagi.
Pak Sarto dan Bu Parni: Tapi Pak, tiap hari juga kami bersihkan, tapi selalu kotor lagi. Pagi ini saja sudah tiga kali kami bersihkan, tetapi tetap kotor lagi.
Pak Arief: Ya dibersihkan lagi. Itukan sudah menjadi tanggung jawab Bapak dan Ibu.
Setelah mendapat perintah dari Pak Arief, tentunya Pak Sarto dan Bu Parni akan membersihkan toilet itu lagi walaupun sambil menggurutu. Karena toilet dibersihkan dengan menggerutu, tidak dengan sepenuh hati, hasilnya bisa dibayangkan: tidak optimal.


Memberi Inspirasi.
Sebaliknya, jika Pak Arief memilih untuk memberikan inspirasi bagi tim kebersihannya untuk membersihkan lagi toilet tersebut, maka berikut inilah yang mungkin akan terjadi.
Pak Arief: Pak Sarto, Bu Parni bisa tolong bersihkan toilet ini lagi.
Pak Sarto dan Bu Parni: Tapi Pak, tiap hari juga kami bersihkan, tapi selalu kotor lagi. Pagi ini saja sudah tiga kali kami bersihkan, tetapi tetap kotor lagi.
Pak Arief: Kalau toilet ini kotor lagi, berarti ada yang menggunakan. Semakin sering kita harus membersihkan toilet, berarti semakin banyak nasabah yang datang. Tiap nasabah adalah rezeki untuk kita semua. Karena ada nasabah yang datang, kita semua bisa terus bekerja di sini. Karena ada nasabah yang menggunakan toilet, Pak Sarto dan Bu Parni juga bisa terus bekerja di sini.
Pak Sarto dan Bu Parni: Oh, begitu ya, Pak. Jadi, nasabah itu rezeki untuk kita. Wah, kalau begitu makin banyak nasabah, makin banyak rezeki. Baik Pak, akan kami bersihkan lagi jika toilet ini kotor lagi.
Setelah mendapat inspirasi dari Pak Arief, bisakah Anda tebak apa yang mungkin sekali akan dilakukan oleh Pak Sarto dan Bu Parni? Apakah mereka akan menggerutu atau akan dengan senang hati membersihkan lagi toilet yang kotor tidak hanya hari itu saja, tetapi untuk hari-hari berikutnya?

Memberi Inspirasi
Setelah kita memahami pentingnya memberi inspirasi, kita perlu juga tahu bagaimana memberi inspirasi. Berikut ini adalah yang dilakukan oleh pemimpin bisnis terkemuka dalam memberi inspirasi bagi karyawan mereka. Siapa tahu ada yang bisa kita teladani.

Bob Eaton: Arah dan Kepercayaan
Bob Eaton dari DaimlerChrysler percaya bahwa jika seorang pemimpin ingin berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan, ia perlu menyentuh memberi inspirasi kepada karyawan untuk bersama-sama meraih sukses. Menurut Eaton, para karyawan akan terinspirasi untuk ikut bekerja sama jika mereka tahu ke arah mana mereka harus bergerak. Mereka juga akan terinspirasi untuk melangkah lebih jauh jika pemimpin menunjukkan kepada mereka bahwa sang pemimpin percaya akan kemampuan karyawan untuk meraih sukses. Begitu mereka merasa dipercaya, mereka akan terinspirasi untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan.

Paul O’Neill: Kebutuhan Dasar
Menurut Paul O’Neill dari Alcoa, kunci keberhasilan dalam memberi inspirasi kepada orang lain adalah memenuhi kebutuhan dasar orang tersebut. Jika seseorang merasa bahwa kebutuhannya dapat terpenuhi dengan menjalankan apa yang diminta, maka ia tentunya akan terinspirasi untuk mempersembahkan karyanya yang terbaik. Sebaliknya, jika ia merasa bahwa kebutuhannya belum bisa terpenuhi sepenuhnya, maka konsentrasinya pada pekerjaan pun tidak akan penuh, karena ia akan membagi perhatiannya untuk mencari kesempatan lain yang dapat membantu memenuhi kebutuhannya. Jadi, pemimpin perlu mengenali kebutuhan dasar para pengikut untuk kemudian membuat para pengikut melihat bahwa dengan bekerja sama, kebutuhan tersebut bisa dipenuhi.

Elizabeth Dole: Misi Hidup
Dalam memberi inspirasi pada anak-anak muda untuk berprestasi, Elizabeth Dole, pemimpin Palang Merah Amerika, mengatakan pada mereka untuk memeriksa kata hati mereka terhadap pekerjaan yang mereka jalankan. Mereka perlu yakin bahwa pekerjaan yang mereka kerjakan merupakan panggilan hati (misi hidup) mereka. Jika tidak sesuai dengan misi hidup, maka mereka tidak akan bertahan dan berprestasi dalam pekerjaan tersebut. Jika sesuai dengan misi hidup, maka mereka akan berhasil karena misi hidup akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat untuk mengalahkan segala hambatan, masalah, dan tantangan. Misi hidup juga merupakan energi yang luar biasa untuk terus bertahan sampai tujuan tercapai.

Martha Ingram: Senangi Pekerjaan
Martha Ingram dari Ingram Industries menginspirasi para karyawan dengan menempatkan karyawan di bidang yang benar-benar mereka sukai. Untuk itu Martha perlu memastikan bahwa tiap karyawan senang pada bidang yang menjadi tanggung jawab mereka, karena Martha percaya bahwa jika mereka senang pada pekerjaan mereka, maka dengan sendirinya mereka akan berkerja dengan usaha maksimal, sehingga kuantitas dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan juga prima. Selain itu, Martha juga menambahkan ”sense of fun” dalam pekerjaan, sehingga karyawan ”senang” datang ke tempat kerja.

Herb Kelleher: Menjadi Diri Sendiri
Herb Kelleher dari Southwest Airlines menginspirasi karyawan dengan menciptakan lingkungan kerja yang memberi kesempatan pada karyawan untuk menjadi diri mereka sendiri dalam melakukan pekerjaan. Dengan menjadi diri sendiri, karyawan akan lebih bebas berkreasi dan lebih produktif karena mereka merasa bahwa mereka dihargai oleh perusahaan seperti apa adanya. Strategi Kelleher adalah merekrut karyawan kualitas unggul dan menciptakan lingkungan serta suasana kerja yang membuat karyawan dapat merasa bebas untuk mengekspresikan diri dan melakukan yang terbaik bagi perusahaan.
Jika karyawan telah terinspirasi untuk melakukan yang terbaik pada tugas yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing, maka pimpinan tidak perlu ragu lagi akan produktivitas dan kualitas pekerjaan para karyawan. Selamat mencoba memberi inspirasi bagi orang lain.

Pemasaran Online vis Blog

Blogs Marketing Explosion
Tahukah Anda, majalah TIME Desember 2004 menjuluki tahun 2005 sebagai era keemasan blogging? Artinya, melalui weblogs, siapa pun bisa menyuarakan aspirasinya, mempublikasikan opini, baik yang positif maupun yang negatif. Ya, dan siapa pun bisa melakukan aktivitas jurnalisme digital tanpa harus benar-benar memasuki kuliah di fakultas public relations (PR) atau jurnalisme. Bahkan, blogging akan menjadi bagian dari disiplin ilmu dalam mata studi jurnalisme pada tahun-tahun mendatang, walaupun sebenarnya ini sudah bisa dikatakan terlambat.

Dengan Blog, Siapa pun Bisa Menjadi Jurnalis
Lihat saja, dengan adanya perangkat lunak berbasis web, mudah bagi siapa pun untuk mengkomunikasikan setiap gagasan yang muncul di dalam benaknya, pengalaman liburan, dan kesimpulan praktis setelah mengikuti seminar atau menghadiri Comdex, ataupun respons audiens setelah peluncuran produk ke arena publik, selain apa yang telah dituangkan di situs web.

Dengan weblogs, publik bisa ikut serta dalam dunia jurnalisme. Dengan weblogs, siapa pun bisa menjadi wartawan lewat media online. Dengan weblogs, siapa pun bisa mempopulerkan diri sendiri dan membuat orang lain menjadi selebriti impian. Dan dengan weblogs, kita pun bisa membuat orang berkuasa menjadi "lengser keprabon".
Lebih jauh lagi, dengan weblogs, tali persaudaraan dan kemanusiaan dapat makin ditingkatkan. Contohnya, dengan terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, dan di berbagai negara tetangga, naluri kemanusiaan muncul pada berbagai weblogs di internet.
Ya, dengan weblogs, bukan hanya tulisan dan perasaan saja yang dapat dipublikasikan, berbagai format dokumen serta foto, gambar, dan format lain juga dapat di-upload dan dibaca oleh siapa pun.
Contoh lainnya, Anda ingat apa yang menyulut dan membangkitkan rasa kesal publik negeri Paman Sam dan sentimen media terhadap Presiden George Bush dan kepemimpinannya? Ini adalah karena Russ Kick dalam weblogs nya di thememoryhole.com (silakan Anda cek!) memperlihatkan keadaan yang menyedihkan secara fisik dan emosi dari para prajurit AS yang telah kembali dari perang di Irak, dan foto-foto yang menyedihkan ini serta merta diterbitkan oleh para reporter di halaman-halaman depan dari majalah serta surat kabar terkenal di seantero dunia. (Kita lihat saja, kapan kasus seperti ini bisa digunjingkan lewat weblogs di negeri kita sebagai upaya transparansi publik terhadap kinerja pemerintah).

Blogonomics
Bahkan, weblogs telah menciptakan sebuah kata baru, yaitu Blogonomics, yang artinya mendapatkan penghidupan lewat aktivitas blogging dengan jaringan blogger yang tergabung dengan suatu weblogs yang sesuai dengan minat mereka, sehingga memungkinkan para pengiklan memperoleh akses untuk mengkomunikasikan news advertorial mereka. Anda lihat sendiri, kan, bagaimana pengaruh luar biasa weblogs dalam membangkitkan sentimen dan opini publik. Ia bagaikan api yang menjalar dengan cepat.
Bagi suatu organisasi,weblogs memungkinkan kolaborasi berbasis web yang lebih instan dan sangat sangat user-friendly. Di samping itu, sebagai penyaluran knowledge management dari organisasi Anda.

Weblogs, Definisi dan Pengertiannya
Betulkah Anda belum pernah mendengar tentang weblogs? Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang topik ini, yang jelas, weblogs akan menjadi salah satu primadona selain RSS (akan saya bahas pada edisi mendatang) dalam kancah bisnis pemasaran serta membentuk opini publik.
Blogging sebenarnya sudah ada sejak empat atau lima tahun yang lalu. Weblogs (ada juga yang menyebutnya web log atau menyingkatnya dengan logs) sebenarnya adalah semacam diary atau catatan singkat yang dipublikasikan sebagai content di dalam suatu situs web. Weblogs adalah suatu komunitas, mirip milis atau online forum. Akan tetapi, bedanya, jika milis atau online forum bisa terkena spamming atau anggota-anggotanya tidak bisa mengisi atau mempublikasikan content suatu web, weblogs lebih dari itu.
Dahulu membangun content dari suatu web membutuhkan perencanaan dan pemikiran yang mendalam. Mengisi content lebih sulit daripada mendesainnya. Dan, bagi banyak orang, ini membutuhkan upaya lebih. Namun, dengan adanya weblogs, memungkinkan Anda untuk mengkomunikasikan dan menjalin pemikiran, minat, opini, serta pengalaman menjadi suatu berita atau cerita.

Sudahkah Anda Blogging?
Dan trennya adalah para praktisi PR dan pemasaran akan menggunakan weblogs untuk mencapai tujuannya, ketimbang berkonsentrasi pada banyak milis atau membuat online forum, atau ikut bergabung dengan suatu e-zine. Mengapa?
Coba kita lihat apa yang telah terjadi hingga sekarang. Kebanyakan orang, pada saat menggunakan internet, mereka melakukan dua hal, yakni membaca e-mail dan mencari info-info tertentu. Nah, sewaktu mereka membaca e-mail, mereka sudah penat dengan hujan spam, sehingga waktu mereka pun termakan untuk memilih-milih e-mail mana yang sebenarnya ditujukan untuk mereka.
Di samping itu, bagi mereka yang waktu adalah segalanya, mereka tak mau menghamburkan waktu dengan berselancar sana-sini. Oleh sebab itu, mereka ikut RSS feeds atau blogs feeds. Mengapa? Sebab, feeds tersebut memberikan jenis informasi yang mereka inginkan, dan waktu pengirimannya kepada mereka. Selain tidak akan kehujanan spamming, sebaliknya, hal itu malah meningkatkan visibilitas situs web mereka.
Ada begitu banyak blogs di belantara maya. Ini telah mengubah lanskap guerrilla marketing. Pertama-tama blogs adalah memang sesuatu yang bagus untuk dilakukan. Namun, sekarang blogs sudah menjadi tren yang digunakan untuk membangun kredibilitas suatu tokoh maupun korporat, yang akhirnya akan menarik pelanggan.
Blogs adalah gudangnya hikmat dan best practices dari banyak pemikir dunia dan narasumber andal yang dulunya sulit didapat oleh pihak publik. Namun, sekarang mereka semua menggunakan internet untuk menyampaikan pemikiran pribadinya sehubungan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka dan bisnisnya. Mereka melakukan blogging dan speaking demi alasan yang sama, yaitu untuk membangun kredibilitas mereka dan perusahaan.
Blogging telah menjadi kendaraan baru. Ia sedikit menyita waktu, tetapi jauh lebih terjangkau dari sisi biaya dan tetap berada di antara calon pelanggan dan konsumen, ketimbang keberadaan secara fisik atau menggunakan jalur PR, seperti diterapkan dalam konsep guerrilla marketing yang dicetuskan oleh Jay Conrad Levinson.
Blogs berisi berbagai macam informasi yang Anda tidak pernah bayangkan. Misalnya, pada salah satu blogs, saya mendapatkan info bahwa kelak penjualan domain akan dilakukan melalui pelelangan. Lewat blogs, kita juga mengetahui bagaimana Coca-Cola menggunakan konsep pendekatan pemasaran (consumer-generated marketing) yang berbasis konsumen, termasuk blogs, dan mereka pun berencana membangun pemasaran berorientasi jaringan sosial.

Mengapa Suatu Bisnis Harus Melakukan Blogging?
Alasannya sederhana saja. Tadi sudah dijabarkan bahwa sekarang konsumen sudah "alergi" atau tidak lagi peka dengan pesan-pesan pemasaran/iklan. Jadi, temukan seseorang di dalam perusahaan Anda yang dapat melakukan blogging mengenai produk dan bisnis Anda, sehingga mampu mereposisi brand perusahaan Anda sebagai market leader atau thought leader.

Sabtu, 06 Desember 2008

Tetap Berhubungan dengan Pelanggan

Menjual produk sering kali gagal karena kurangnya orientasi kepada pelanggan. Padahal, bisa jadi pelanggan itu membutuhkan produk yang ditawarkan. Adrian Miller, seorang konsultan bisnis dan penjualan melalui situs www.businessknowhow.com menyampaikan beberapa hal yang perlu diketahui dalam menjual produk.

  1. Tanyalah apa yang menjadi kebutuhan pelanggan.
  2. Jangan terlalu banyak diskusi dengan konsumen. Yang diperlukan adalah bagaimana produk itu bermanfaat baginya.
  3. Jangan remehkan peran mesin fax, atau e-mail. Penggunaan sarana ini akan memudahkan tugas Anda memasarkan.
  4. Tindaklanjuti apa yang sudah dilakukan. Apabila hubungan dengan calon konsumen Anda tidak diteruskan, target Anda tidak akan tercapai.
  5. Tambahlah daftar nama orang yang bisa menjadi prospek Anda secara teratur. Luangkan waktu dalam seminggu atau beberapa hari untuk menghubunginya. Anda harus menepati sendiri kapan harus menghubunginya dan jangan melanggarnya.
  6. Tetaplah tersenyum. Cara ini akan membuat konsumen ikut tersenyum dan sebagian dari usaha Anda sudah berhasil.

Pemasaran Produk Berdasarkan Jenis Kelamin

Menawarkan Produk kepada Wanita

Wanita merupakan pasar bisnis yang cukup menggiurkan bagi kalangan pemasaran. Namun, banyak produk yang ditawarkan tidak akan berarti banyak bila tidak didukung dengan strategi pemasaran yang tepat. Sering kali pemasaran gagal karena si penjual tidak memahami keinginan wanita. Judith Tingley, seorang psikolog bisnis melalui bukunya How to Sell to The Oposite Sex, seperti yang dikutip Martha Barletta dalam bukunya Marketing to Woman, menyampaikan beberapa tips bagi profesional pria agar bisa menjual produk keperluan wanita.

  1. Luangkan waktu lebih banyak dalam menangani proses pembelian, jangan terburu-buru.
  2. Perlakukan wanita dengan serius sebagai orang yang berpengetahuan dan memiliki kemampaun keuangan.
  3. Dengarkan keinginan dan kebutuhan yang akan dipenuhi melalui pembelian, bukan hanya menjual dan menjual saja.


Menawarkan Produk pada Pasangan Pria dan Wanita
Setiap pasar memiliki keunikan. Demikian pula pasangan pria dan wanita. Menurut Judith Tingley, seorang psikolog bisnis, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam menjual produk kepada pasangan pria dan wanita.
Wanita, misalnya, sering kali mengajukan pertanyaan kepada tenaga penjual atas sebuah produk ketika pergi berbelanja bersama suaminya. Namun, ada pula wanita yang masih mendiskusikan bersama suaminya atas penawaran yang diajukan sang penjual. Untuk barang atau jasa yang nilainya tinggi, penjual sebaiknya memberikan kesempatan kepada pasangan itu untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu.

  1. Mintalah pendapat langsung dari wanita tanpa dia meminta saran dari suaminya terlebih dahulu.
  2. Ketika berhadapan dengan pasangan pria dan wanita, Anda harus tahu betul bagaimana cara berjualan kepada perempuan. Dengarkan dengan cermat setiap ucapannya, gunakan isyarat nonverbal untuk menunjukkan bahwa Anda mengikuti pembicaraannya. Posisikan barang yang Anda tawarkan menjadi bagian dari 'kisah hidupnya.'
  3. Tekankan manfaatnya dan jawab semua pertanyaan dengan cermat dan memuaskan.
  4. Pastikan Anda 'meninggalkan' mereka dalam waktu yang cukup untuk memberikan 'privacy' dalam berdiskusi sebelum mengambil keputusan. Apabila pasangan pria harus mengambil keputusan segera di tempat, kemungkinan pasangan wanita tidak puas.

Langkah-langkah Memasarkan Produk

Memasarkan sebuah produk atau jasa memang memerlukan strategi tersendiri. Dengan strategi pemasaran yang tepat, maka produk kita pun akan banyak diserap pasar.
Untuk itu pemahaman terhadap pasar tentu menjadi kunci yang utama, selain produk yang akan dipasarkan. Dengan memahami pasar dan produknya kita bisa menemukan pasar sasaran (target market) yang tepat. Inilah kunci keberhasilannya. Ada produk dan ada pasar yang tepat.
Bagaimana langkah-langkahnya?
Pertama, tentu saja Anda harus mengenal dan memahami produk yang akan dipasarkan. Produk apa yang hendak kita pasarkan? Apakah produknya untuk konsumsi industri, seperti pabrik-pabrik, industri pengolahan? Atau, produknya untuk konsumsi masyarakat luas atau lebih dikenal sebagai consumer goods? Nah, penentuan atau pendefinisian produk ini penting, karena dalam melakukan pemahaman pasar, lewat riset pasar, bisa menjadi lebih fokus.
Langkah kedua adalah memahami pasar, yaitu dengan mengetahui profil pasarnya. Apa itu profil pasar? Anda bisa paham nanti lewat misalnya, profil demografisnya seperti usia konsumen, jenis pekerjaan, kelas ekonomi, tingkat pendidikan; lalu apakah tinggal di perkotaan, pedesaan, cakupan daerah yang dilayani apakah hanya di kota, kabupaten, propinsi, atau se Indonesia; lokasinya apakah di mal, pasar tradisional. Begitu juga dengan gaya hidupnya apakah olahraga kesukaan mereka, hobi, atau kesukaannya, dan lain sebagainya.
Mengapa kita memerlukan profil pasar hingga sedetail mungkin? Ya, karena dengan profil yang lengkap Anda dapat dengan tepat menembak pasar sasarannya dan dapat membuat stategi dan taktik memasarkan produk dengan sebaik-baiknya. Misalnya, kalau Anda menjual produk jam Rolex yang harganya puluhan juta tentu pasar sasarannya adalah orang-orang yang memiliki kelas ekonomi yang tinggi, orang yang senang bersosialisasi di kalangan atas, dan yang bergaya tinggi.
Begitu juga jika kita membuka warung makan atau restoran dekat kampus sudah tentu penentuan menu dan harganya pun 'disesuaikan' dengan kantong para mahasiswa yang menjadi pasar sasaran Anda. Jadi, pada intinya harus ada kesesuaian antara produk yang ditawarkan dengan pasar sasarannya. Langkah ini juga dapat digunakan untuk menghitung perkiraan besar pasarnya. Yang bagus untuk bisnis tentu yang memiliki peluang jumlah pasar yang besar atau jumlah pasar yang masih dapat menyerap produk Anda. Setelah langkah kedua ini, Anda harus dengan pasti menentukan pasar sasarannya.

Apabila pasar sasaran sudah ditentukan, langkah ketiga adalah membuat strategi untuk memasarkannya. Ada yang disebut sebagai bauran pemasaran (marketing mix) yang disingkat dengan 4 P, yaitu product (produk), price (harga), place (tempat), dan promotion (promosi). Apa artinya? Dalam hal produk, Anda harus memperhatikan bagaimana jenis produknya, kualitasnya, mereknya, fitur-fiturnya, dan ukurannya.
Untuk harga, maka Anda harus mempertimbangkan besar harganya, ada atau tidak diskonnya, sistem pembayarannya. Dalam hal tempat, maka Anda sudah mengatur cara distribusinya, sebarannya, lokasi menjualnya. Dan, untuk promosi, tentu juga bagaimana cara Anda mempromosikan produk Anda, dengan beriklan dimana, metode dan alatnya. Dan ingat, semuanya harus mengarah pada pasar sasaran yang telah Anda tetapkan tadi.
Sebagai pemula yang mana yang hendak dipilih? Apakah yang low cost, low value, moderate cost, moderate value, atau high cost, high value? Apakah value yang Anda maksud di sini adalah profit? Kalau ya, tentu saja yang lebih bagus adalah low cost, high value/profit.
Kita sedang berbisnis, jadi mendapatkan profit atau keuntungan setinggi-tingginya adalah sesuatu yang harus dicapai. Menurut saya, sesuaikan saja dulu dengan kemampuan Anda. Yang lebih penting adalah bagaimana Anda bisa memulai bisnis Anda itu sekarang !

Kiat Sukses Menjual di Pameran

Pameran merupakan salah satu peluang bagi pengusaha untuk memasarkan produknya, selain melalui kios toko. Sayang, banyak pengusaha, terutama kecil dan menengah, gagal meraih target pembeli karena tidak memahami prosedur yang harus diikuti dalam setiap pameran agar sukses.
Gunawan Kurnia Pribadi, pengusaha batik asal Solo membagi kiat sukses menjajakan barang dagangannya pada setiap pameran. Menurutnya, banyak pengusaha yang gagal saat pameran menjadi enggan mengikuti pameran berikutnya. Apalagi sewa stan pameran cukup mahal untuk ukuran bidang usaha kecil dan menengah (UKM). Ada pula pengusaha yang rajin ikut pameran tapi tidak pernah berhasil meraih keuntungan. Berikut ini beberapa langkah suksesnya berdagang di pameran.

  1. Pada setiap pameran hendaknya memiliki tema khusus. Tema ini perlu kreasi dan inspirasi. Inspirasi bisa diperoleh dari bahan bacaan, internet, atau berdiskusi dengan orang lain.
  2. Tampilkan produk sesuai dengan tren yang sedang berlaku. Biasanya pengusaha daerah kurang paham untuk masalah ini sehingga model produk mereka sering ketinggalan zaman. Dari pameran bisa dipelajari produk mana saja yang laku dan mengapa produk-produk tersebut bisa sukses. Produk yang ketinggalan zaman akan ditinggal konsumennya.
  3. Tentukan target pasar untuk produk yang hendak dijual secara jelas. Penentuan target ini penting karena berkaitan dengan mutu dan harga yang ditawarkan. Biasanya kalangan menengah ke atas cukup ideal dijadikan target konsumen karena daya beli mereka cukup besar. Namun, kalangan menengah ke bawah juga punya potensi yang tidak kecil. Banyak orang yang datang ke pameran tidak berniat membeli. Tapi, setelah melihat ada barang murah, mereka membeli.
  4. Memosisikan produk bagi kalangan menengah ke atas akan memudahkan pengusaha mengundang pembeli dalam jumlah besar, termasuk mancanegara. Mereka akan tertarik dengan kualitas produk menengah ke atas yang biasanya baik. Apabila produk unggulan itu sukses di pasaran, dengan sendirinya produsen bisa memasukkan produk lainnya yang lebih murah.
  5. Persiapkan produk secara maksimal. Biasanya saat mengikuti pameran UKM hanya menampilkan produk dalam jumlah terbatas. Saat datang permintaan dalam jumlah besar sering kali mereka kewalahan. Barang yang seharusnya dipamerkan dijual karena ada pembeli sehingga pembeli lain tidak bisa melihat contoh produk yang dijual. Ini bisa diatasi dengan mendokumentasikan produk-produk yang tidak sempat dipajang, baik dalam bentuk foto atau brosur yang dibuat secara menarik agar calon pembeli bisa memiliki banyak pilihan.
  6. Bila datang permintaan, terutama dalam jumlah besar, pengusaha harus siap memenuhinya karena itu resiko sebagai pebisnis. Banyak pengusaha yang terpaksa menolak permintaan karena keterbatasan kemampuan produksi sehingga peluang emas lenyap.
  7. Tata letak produk yang tepat pada pameran juga mampu menarik perhatian pembeli. Mereka akan memasuki stan pameran dengan mudah. Tidak perlu memajang produk mahal. Penyusunan tata letak ini bisa meminta bantuan mereka yang memiliki jiwa seni. Selamat berpameran.

Penuhi Kepentingan Orang Lain (AIDA)

Kepentingan diri sendiri saja sudah merepotkan untuk dipenuhi, apalagi harus memenuhi kepentingan orang lain. Jadi, mengapa saya harus repot-repot memenuhi kepentingan orang lain? Mungkin ini komentar Anda ketika membaca judul artikel ini. Ya, mengapa kita harus memenuhi kepentingan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi kita? Ternyata banyak manfaatnya, dan efektif hasilnya. Ingin tahu rahasianya?

MENGAPA KEPENTINGAN ORANG LAIN?
Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara untuk meraih tujuan pribadi, salah satunya adalah melalui orang lain. Dengan cara ini kita bisa mendapatkan AIDA dari orang tersebut untuk membantu kita meraih tujuan kita.

#1 Untuk menarik perhatian (Awareness). Coba perhatikan iklan-iklan di media cetak dan elektronik yang Anda anggap menarik perhatian Anda (misalnya: iklan perawatan rambut, susu untuk anak, sabun kesehatan, ataupun jasa perbankan). Mengapa iklan-iklan tersebut menarik? Mungkin sekali karena iklan-iklan tersebut menawarkan produk atau jasa yang sangat erat hubungannya dengan kepentingan Anda (misalnya: diperlukan atau disukai). Kemudian, perhatikan tawaran-tawaran orang lain yang Anda terima (misalnya: tawaran kerja sama, tawaran untuk membeli produk atau jasa tertentu, tawaran untuk menjadi anggota kelompok tertentu). Mengapa tawaran-tawaran tersebut Anda terima. Jawabannya pasti karena tawaran tersebut di mata Anda merupakan jawaban dari kepentingan Anda.
Misalnya: Perusahaan obat nyamuk tidak akan beriklan agar masyarakat membeli produk mereka supaya mereka mendapat untung banyak. Sebaliknya, untuk menarik perhatian masyarakat sasaran produsen fokus pada kepentingan masyarakat yang dilayaninya, yaitu: menawarkan solusi bagi masyarakat atas masalah nyamuk dan pencegahan berbagai penyakit yang bersumber pada nyamuk.

#2 Untuk menarik minat (Interest). Jika Anda menunjukkan bahwa Anda sangat menaruh perhatian pada orang lain, menurut Anda bagaimana reaksi orang tersebut terhadap Anda? Apakah mereka akan membenci Anda? Kemungkinan besar tidak. Sebaliknya, mereka cenderung akan menunjukkan minat pada apa yang Anda katakan, karena Anda telah memberikan perhatian terlebih dahulu kepada mereka. Misalnya: Perusahaan obat nyamuk yang memberikan perhatian tinggi pada kepentingan masyarakat sasarannya, dan masyarakat di tempat perusahaan tersebut beroperasi (antara lain dengan ikut mensponsori program kali bersih di daerah tersebut, mempromosikan cara pengobatan gratis bagi warga setempat secara periodik), tentunya akan mendapat perhatian dari masyarakat, dan masyarakat pun akan menaruh minat besar pada produk-produk yang ditawarkan.

#3 Untuk Diingini (Desire). Setelah perhatian diperoleh dan minat berhasil dimunculkan, maka fokus pada kepentingan orang lain akan menimbulkan keinginan (desire) dalam orang yang kepentingannya Anda perhatikan tersebut untuk mendukung Anda. Misalnya: Setelah masyarakat memahami (aware) pada keberadaan perusahaan dan menaruh minat besar pada produk-produk yang ditawarkan karena perusahaan tersebut telah terlebih dahulu menaruh perhatian kepada kepentingan masyarakat dan memenuhi kepentingan mereka, maka akan mudah bagi perusahaan untuk membangkitkan keinginan (desire) masyarakat untuk dengan senang hati membeli produk-produk yang ditawarkan.

#4 Untuk Ditindak-lanjuti (Action). Orang yang kepentingannya telah Anda penuhi cenderung memiliki sikap positif pada Anda. Sehingga, mereka juga akan menindak lanjuti apa yang Anda minta dari mereka (seringkali, tanpa diminta pun, mereka akan membantu Anda). Misalnya: Setelah keinginan (desire) untuk membeli muncul, maka tindakan (action) untuk membeli (yang tentunya merupakan target yang dituju oleh perusahaan) juga akan lebih mudah untuk terjadi.

BAGAIMANA CARANYA?
Yang harus dilakukan selanjutnya adalah mengikuti langkah untuk mencapai tujuan melalui perhatian ataupun fokus pada kepentingan orang lain.

#1 Tentukan Tujuan Pribadi. Tentu saja yang pertama harus dilakukan adalah mengidentifikasi tujuan pribadi yang akan Anda capai. Berangkat dari tujuan inilah Anda bisa mulai menentukan langkah selanjutnya. Contoh: Anda ingin mendirikan toko kelontong di kompleks tempat Anda tinggal. Anda ingin agar tiap orang di kompleks tersebut membeli keperluan rumah tangga sehari-hari, seperti perlengkapan mandi, segala perlengkapan untuk kebersihan rumah dan pribadi.
#2 Tentukan Target Audience. Tujuan akan lebih mudah dicapai dengan bantuan orang lain. Jadi, langkah berikutnya adalah menentukan siapa (target audience ataupun pasar sasaran) yang dapat membantu Anda untuk mencapai tujuan tersebut.Contoh: Untuk tujuan mendirikan toko kelontong tersebut, Anda menentukkan bahwa pasar yang Anda tuju adalah rumah tangga di sekitar toko Anda dalam radius 100 meter.
#3 Identifikasi Kepentingannya. Setelah target audience dapat diidentifikasi dengan baik, Anda perlu mengidentifikasi kepentingan dari target audience yang bisa Anda penuhi. Pasti target audience memiliki berbagai kepentingan. Pilih kepentingan yang sejalan dengan pencapaian tujuan pribadi Anda. Contoh: Untuk mengetahui kepentingan target pasar, Anda tentunya perlu mengenal target pasar Anda terlebih dahulu dengan baik. Untuk itu, Anda bisa bersosialisasi dan berteman dengan mereka, misalnya: mengikuti kegiatan-kegiatan yang melibatkan warga setempat—ikut kepanitiaan ataupun meramaikan perayaan 17 Agustus di kompleks Anda, kelompok arisan RT, ataupun sekedar menyapa, menghadiri undangan warga setempat.
#4 Penuhi Kepentingannya. Langkah berikutnya adalah memenuhi kepentingan orang lain yang dituju. Kepentingan inilah yang merupakan kunci untuk diharmonisasikan dengan kepentingan pribadi Anda guna mencapai tujuan pribadi Anda juga. Contoh : Setelah mengenal kepentingan target pasar Anda dengan baik, Anda mulai memenuhi kepentingan mereka. Yang bisa Anda lakukan antara lain: mengirim bingkisan (berisi produk yang ada di toko Anda sekaligus memperkenalkan toko Anda) pada hari-hari istimewa yang mereka rayakan (misalnya: hari raya keagamaan); mengisi majalah dinding, bulletin, website warga setempat dengan artikel-artikel praktis mengenai kebersihan diri dan kebersihan lingkungan; ikut berpartisipasi dalam gerakan kebersihan lingkungan (baik sebagai sponsor ataupun peserta aktif).
Harmonisasikan dengan Kepentingan Anda. Setelah kepentingan diidentifikasi dan dipenuhi, harmonisasikan dengan kepentingan Anda sehingga kepentingan Anda bisa tercapai melalui pemenuhan kepentingan orang lain. Contoh : Dengan fokus pada pemenuhan kepentingan warga setempat terutama dalam hal kebersihan, maka warga setempat yang menjadi target pasar Anda akan lebih mudah untuk ditarik perhatiannya, dibangkitkan minat dan keinginannya, serta ditumbuhkan tindakannya untuk membeli produk-produk kebersihan di toko Anda, bahkan menjadi pelanggan toko Anda yang setia.

Ingin mewujudkan tujuan Anda? Mungkin strategi pemenuhan kepentingan orang lain bisa dicoba untuk memperkaya strategi Anda dalam meraih tujuan pribadi. Selamat mencoba.

Empat P (Marketing Mix)

Para pemasar tentu ingat apa itu 4-P karena merupakan 'pelajaran' dasar bagi profesi yang digeluti. Berikut ini sekadar mengingatkan, siapa tahu Anda sudah mulai melupakan pentingnya 4-P dalam berjualan. Inilah 4-P yang diungkap oleh Women's Business Centre melalui http://www.onlinewbc.gov/.

1. Product (Penampilan produk dan manfaat).

Produk yang baik selalu mampu menarik perhatian konsumennya. Baik dari ukuran, bentuk, warna, bahan dan sebagainya. Produk yang dijual juga harus mencantumkan manfaat maksimal bagi pemakainya sehingga bisa mendatangkan kepuasan.

2. Price (Penentuan harga).

Ini masalah paling penting dalam penjualan. Penetapan harga sebaiknya sesuai dengan kualitas barang yang dijual. Harga harus menguntungkan penjual dan pembeli. Bagi sebagian konsumen harga tertentu dari suatu barang masih masuk akal. tapi bagi lainnya belum tentu.

3. Promotion (Promosi).

Rencana promosi mesti disesuasikan dengan anggaran, dan media yang tepat dan konsumen yang hendak dituju agar hasilnya maksimal dengan pengeluaran minimal. Promosi hendaknya dipadukan dengan pemasaran agar efektif.

4. Place (Sales and Distribution).

Penjualan dan distribusi. Penjualan bisa dilakukan secara langsung, tidak langsung, multilevel, atau penjualan melalui agen besar. Pemilihan cara ini menentukan efektivitas penjualan karena setiap produk memiliki karakter beragam agar sampai ke tangan konsumen pada saat yang tepat.

Selasa, 02 Desember 2008

Uang: Tidak Perlu Dicari?

Ah, masa iya? Bayar tagihan telepon, listrik, air, uang sekolah anak-anak, keperluan rumah tangga, bahan bakar dan perawatan mobil, keperluan makan, minum. Semua menggunakan uang. Jadi, uang tetap perlu dicari. Mungkin ini menjadi argumentasi Anda ketika membaca judul artikel ini. Anda tidak salah, tetapi juga tidak 100% benar. Semua ini memang perlu uang, tapi bukan berarti uang yang diperlukan harus dicari atau dikejar. Yang perlu dilakukan adalah membuat uang mengejar ataupun mencari Anda.

Jika Anda Mengejar atau Mencari Uang.
Sesuatu yang dikejar biasanya larinya lebih kencang. Sesuatu yang dicari, biasanya tidak terlihat, atau sedang dalam keadaan "hilang". Mengejar dan mencari merupakan dua aktivitas yang tidak mudah dilakukan karena banyak hambatan yang akan ditemui.

Mengejar Uang.
Dalam kegiatan "mengejar", faktor kunci sukses adalah kecepatan dan stamina. Siapa mempunyai stamina untuk secara konsisten (terus-menerus) memacu kecepatan yang lebih tinggi dari yang dikejar maka dia mungkin akan berhasil. Demikian pula dengan orang yang "mengejar" uang. Ia harus selalu menjaga stamina untuk memacu kecepatannya untuk mendapatkan uang yang dikejar. Sekali ia lengah, maka ia akan tertinggal jauh. Jika ia tertinggal jauh, maka uang semakin tak terkejar, bahkan mungkin ia akan tersingkir dari pertarungan mengejar uang. Ini jugalah yang terjadi pada orang ataupun perusahaan yang semata mengejar uang (baca: keuntungan finansial). Mereka akan berusaha melakukan apa pun juga (termasuk juga yang tidak positif) untuk menjegal lawan. Mereka juga akan berusaha melakukan apa pun juga untuk mendapatkan uang (memotong biaya, meningkatkan pendapatan) secepatnya. Keputusan ini seringkali terikat pada keuntungan jangka pendek saja. Akibatnya kelangsungan hidup di jangka panjang menjadi korban. Perusahaan ataupun orang yang menerapkan prinsip ini tidak akan bertahan lama. Pada suatu saat mereka akan tersingkir dari arena "pertandingan" lari untuk mengejar uang. Misalnya, perusahaan yang hanya mengejar uang, akan cenderung berusaha mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa memikirkan lebih jauh dampak dari tindakan ini di masa datang. Mereka mungkin akan menaikkan harga, menurunkan kualitas agar dapat memperoleh laba besar. Mereka juga akan membujuk target pasar dengan segala cara (termasuk menipu target pasar) untuk membeli produk mereka. Akibat dari kedua praktik pengejaran uang ini adalah kekesalan pelanggan: ketika pelanggan sadar bahwa apa yang mereka dapatkan jauh di bawah standar yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan marah dan jera membeli produk perusahaan yang sudah dianggap menipu mereka tersebut.


Mencari Uang.
Bagi mereka yang berusaha mencari uang, segala sesuatu cenderung akan diukur dengan uang. Kualitas yang mereka tawarkan akan diukur dengan uang yang mereka dapatkan. Jika mereka hanya mendapatkan uang dalam jumlah kecil, maka mereka juga akan memberikan kualitas kerja yang rendah. Mereka merasa rugi jika harus berusaha yang terbaik sementara gaji yang mereka dapatkan dianggap belum memadai. Waktu yang mereka dedikasikan juga mereka ukur dengan uang. Jika mereka harus memberi waktu banyak, maka mereka juga akan mengharapkan upah yang lebih banyak. Mereka tidak akan mau bekerja melebihi waktu bayaran mereka. Misalnya, sebut saja seorang karyawan yang bernama Rahayu yang berprinsip bekerja untuk mencari uang. Ketika mendapat kesempatan dari perusahaan untuk menunjukkan kualitas yang lebih tinggi dari apa yang ada pada job description yang telah ditanda-tangani, Rahayu dengan tegas menolak karena ia tidak mau bekerja "lebih" dari bayaran yang diterima. Akibatnya, kesempatan ini diberikan kepada Dewi yang dengan senang hati menerima kesempatan "emas" tersebut. Dewi berprinsip, jika ia bisa membuktikan bahwa ia bisa melakukan tanggung jawab yang lebih tinggi, maka ada kemungkinan ia akan dipercaya untuk mendapat posisi dengan tanggung jawab baru tersebut. Dengan sendirinya pasti kompensasi finansial pun akan meningkat.

Jika Anda Tidak Mengejar Uang
Jika Anda tidak mengejar uang, tetapi kualitas dan kepuasan kerja, maka Anda akan mendapatkan keduanya (kualitas dan kepuasan kerja). Selain kedua hal ini, uang pun akan dengan sendirinya mengejar Anda.

Berikan Bantuan.
Jika Anda membantu cukup banyak orang untuk sukses, maka sukses akan mengikuti Anda. Orang-orang yang Anda bantu akan menceritakan kehandalan Anda dalam membantu mereka. "Kesaksian" orang-orang ini tentang reputasi Anda yang positif akan menjadi senjata promosi yang ampuh untuk Anda, sehingga orang lain juga tidak akan ragu untuk berbisnis dengan Anda. Misalnya, setelah pekerjaan utama yang menjadi tanggung jawabnya selesai, Arief yang bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan, tidak segan-segan untuk membantu siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Bantuan ini ia berikan tidak hanya ketika diminta, tetapi juga ketika ia melihat orang lain membutuhkannya (tanpa diminta). Sehingga Arif menjadi orang yang diandalkan banyak orang di perusahaannya. Tidak heran ketika perusahaan membuka lowongan untuk suatu jabatan yang lebih tinggi, Arief menjadi orang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan tersebut.

Melakukan yang Terbaik.
Jika Anda selalu melakukan yang terbaik, lebih dari dari orang-orang lain di sekitar Anda, pada setiap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Anda, maka sukses tak akan ke mana-mana. Ini yang menjadi prinsip hidup Carly Fiorina, wanita pengusaha, yang menjadi CEO di Hewlett-Packard. Prinsip ini juga selalu dipraktikkan oleh orang-orang sukses lainnya. Misalnya, Sherry selalu berusaha mempersembahkan kualitas prima pada setiap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Kinerjanya yang selalu positif mencerminkan potensinya yang juga positif. Inilah yang akhirnya melancarkan laju perjalanan kariernya, sampai akhirnya ia dipercaya menduduki jabatan pimpinan di bidang yang selama ini ditekuninya.

Mereka yang Tidak Mengejar Uang
Ingin melihat teladan konkret mereka yang tidak mengejar uang, tetapi sukses dan mendapatkan uang berlimpah? Simak yang berikut. Kazuo Inamori pendiri Kyocera Corporations tahun 1959. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi. Pada saat didirikan, Kyocera hanya memiliki 28 karyawan dan modal $10,000. Namun setelah itu, perusahaan ini mampu berkembang menjadi perusahaan yang menghasilkan suku cadang berteknologi tinggi, seperti semikonduktor yang canggih.
Pendirinya, Inamori, tidak mengejar keuntungan finansial dalam membangun bisnis, melainkan mengejar tujuan yang lebih mulia dari uang: semua bisnis yang dibangunnya selalu berorientasi pada masyarakat, yaitu bisnis yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat banyak. Tujuan mulia ini senantiasa didengungkannya kepada seluruh karyawannya, agar mereka paham bahwa mereka bekerja bukan saja untuk diri sendiri atau perusahaan, tetapi terutama adalah untuk kepentingan masyarakat luar. Bermodalkan keyakinan, dan tujuan mulia ini yang juga ditularkan kepada seluruh jajarannya, Kazuo Inamori bisa tetap optimis di masa sulit. Ia dan karyawannya tetap memiliki harapan dan semangat juang tinggi untuk melewati masa sulit yang dihadapi. Jika satu cara menemui kegagalan, Inamori tidak putus asa, ia akan mencari ataupun menciptakan cara lain untuk mencapai sasaran yang dituju, sampai akhirnya sukses finansial dengan sendirinya mengikuti Inamori.
"Build people and they will build the business for you," demikian prinsip bisnis Brownie Wise, salesman ulung dari perusahaan Tappeware. Dengan prinsip ini, Wise bekerja tidak semata untuk uang, tetapi terlebih untuk membantu sumber daya manusia agar menjadi lebih baik dan lebih unggul. Menurut Wise, sumber daya manusia adalah tulang punggung sebuah bisnis. Untuk itu mereka perlu dibangun dan diperlengkapi dengan keterampilan teknis (tentang produk yang akan dijual), terutama non-teknis (motivasi, tujuan, kepercayaan diri, dan visi misi pribadi). Caranya? Melalui keteladanan (dengan mencontohkan sikap sukses dari tingkah laku sang pemimpin), dan pelatihan praktis (baik on-the job maupun pelatihan singkat) di bidang yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Guna memacu agar sumber daya yang direkrut perusahaan bisa berprestasi, Brownie Wise beranggapan bahwa SDM perlu diajak untuk memiliki mimpi yang ingin mereka raih, dan diperlihatkan cara untuk meraih mimpi tersebut melalui pekerjaan mereka di perusahaan. Misalnya, jika seorang karyawan atau distributor ingin membeli rumah, tunjukkan seberapa banyak volume penjualan yang perlu diraih dan bagaimana cara mencapai target tersebut setahap demi setahap untuk dapat mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, perusahaan bisa membuat karyawan tetap fokus pada tujuan pribadi yang sejalan dengan tujuan perusahaan. Prinsip ini telah membantu Wise untuk menolong banyak orang untuk sukses. Kesuksesan orang-orang yang dibantu oleh Wise merupakan kesaksian hidup bagi kualitas Wise yang juga prima. Sehingga orang sekitar percaya akan keandalan Wise dan berani mempercayakan bisnis mereka juga pada Wise.

Uang memang perlu, tapi bukan untuk dijadikan tujuan akhir untuk dikejar. Yang perlu dilakukan adalah membuat uang mencari Anda dengan mendasarkan tujuan hidup dan setiap keputusan yang Anda ambil pada sesuatu yang lebih mulia dari uang: Membantu orang lain untuk sukses agar dengan sendirinya orang lain juga akan membantu Anda untuk sukses. Semakin banyak orang yang Anda bantu untuk sukses, semakin banyak orang yang akan mendukung Anda untuk sukses. Selamat mencoba..

Bisnis Keluarga: Indahnya Konflik

Implementasi TI kerap menjadi konflik dalam bisnis keluarga, di samping sejumlah penyebab lainnya. Apa saja? Membuat aturan main dan rencana yang jelas menjadi solusinya.
PT AJBS Swalayan jelas bukan perusahaan yang terlalu besar. Berbasis di Surabaya, aset toko swalayan perkakas teknik ini tahun lalu diperkirakan baru Rp20 miliar. Namun yang mengejutkan, mereka ternyata berani menganggarkan US$1 juta, hampir separo dari total asetnya, untuk membenahi proses bisnisnya dengan menerapkan sistem enterprise resources planning (ERP). Gilakah mereka? Adrianto Suhartono, CEO AJBS, mempunyai kisah menarik tentang terobosannya itu. Secara jujur Adrianto mengaku bahwa pada mulanya banyak pihak yang menganggapnya terlalu nekat. Suara-suara menolak pun bermunculan. Kritik mengalir deras bukan cuma datang dari keluarganya sendiri, tetapi juga dari kolega bisnisnya. Suasana sungguh panas. Namun, Adrianto ngotot. Sebagai CEO, ia merasa paham betul kondisi perusahaannya, apa yang ingin dicapai, dan bagaimana caranya. Investasi ERP, bagi Adrianto, bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi memang perlu untuk memperbaiki proses bisnis AJBS, sehingga mampu menopang pertumbuhan usaha di masa depan. "Walau skala usaha AJBS kecil, kalau kami tak berani berubah, suatu saat pasti tertinggal oleh pesaing," tandas Adrianto. Dia pantang mundur. Akhirnya, pada awal 2002, AJBS pun mulai menerapkan ERP. Hasilnya, bukan cuma mereka yang merasakan, tetapi juga konsumen. Berkat penerapan ERP, mereka jadi lebih mampu memperhitungkan stok barang, sehingga konsumen yang datang tak pernah kecewa. Barang selalu tersedia. Hebatnya lagi, biaya inventori ternyata justru berhasil mereka turunkan.

Tentu tak setiap pebisnis, apalagi dalam perusahaan keluarga, seberani Adrianto--yang meski mendapat tentangan dari keluarga, ia toh nekat jalan terus.
Masih terkait implementasi solusi berbasis teknologi informasi (TI), konflik dalam bisnis keluarga juga mencuat di sebuah kelompok usaha papan atas. Ini dipicu oleh generasi ke-3 yang baru pulang dari sekolahnya di luar negeri dengan membawa mindset baru. "Umumnya mereka bersekolah di AS, sangat mengandalkan TI dan pendekatan kuantitatif," cerita seorang eksekutif di kelompok usaha itu. Mereka juga kerap melecehkan gaya bisnis para pendahulunya yang dianggap ketinggalan zaman. Padahal, para petinggi kelompok ini kerap berbisnis atas dasar kepercayaan, tanpa pendekatan bisnis modern.
Nah, yang membuat repot, lanjut eksekutif itu, para cucu ini kemudian meminta jatah perusahaan baru dari kakeknya. Padahal, kelayakan bisnis dari perusahaan baru itu masih sulit untuk dinilai. Maka, posisi yang sulit pun menimpa para eksekutif profesional yang senior. "Mereka masih terlalu muda dan belum memiliki business wise . Cuma, biar bagaimanapun, mereka anggota keluarga," keluh sang eksekutif tadi. Untunglah, seiring berjalannya waktu, kesenjangan di antara kedua generasi tersebut makin mengecil.
Implementasi TI, Kerap Memicu Konflik
Jika di AJBS Adrianto menghadapi tentangan keras bahkan dari keluarganya sendiri, sementara di kelompok usaha papan atas tadi pendekatan yang TI minded memicu ketegangan di kalangan eksekutif profesionalnya, tidak demikian halnya di Grup Blue Bird. Simak percakapan generasi ke-3-nya, yakni Noni S.A. Purnomo, vice-president business development Grup Blue Bird, dengan Adrianto Djokosoetono (Andre), sang adik, yang kini dipercaya mengelola perusahaan logistik PT Ocean Airline Indonesia, Senin (7/2) pekan lalu:
Andre: Banyak implementasi TI yang gagal karena tidak ada drive dari pemiliknya.
Noni : Kalau orang lain kan susah, ditekan dari atas-bawah. Kami jelas, dari atas ada dukungan penuh.
Andre: Kami seperti jadi bumper. Buat mereka yang resistance, karena yang menjadi bumper pemiliknya, jadi malu-malu. Saya ini bumper-nya Noni. Saat itu saya yang berhadapan langsung dengan mereka.
Noni : Iya, saya minta Andre jadi direktur TI. Kebetulan dia latar belakang pendidikannya dari TI.
Enak, bukan? Rupanya, di kalangan generasi ke-2 pun sudah ada keyakinan bahwa TI tak hanya dipercaya sebagai bekal untuk bersaing di era global, tetapi juga akan mendorong seluruh kegiatan operasional guna mencapai hasil yang maksimal. "Kekuatan kami ada di pengemudi, tetapi teknologi justru menjadi kelemahan kami dalam menghadapi kompetisi internasional," ungkap Noni. Di Blue Bird, implementasi TI pun berlangsung mulus.
Konflik juga kerap muncul akibat adanya perbedaan dalam level pendidikan. Menurut Fery Hartono, direktur PT Total Bisnis Excellent, biasanya, kondisi perusahaan yang tak selaras dengan pengetahuan yang didapat saat bersekolah di luar negeri kerap mendorong generasi penerus membuat kebijakan yang berbeda untuk memperbaikinya. "Apabila masalah ini tidak dikelola dengan baik, ia bisa menjadi pemicu konflik," kata pemilik perusahaan jasa konsultansi manajemen itu.
Pendapat Fery diamini oleh Adrianto. Menurut dia, generasi terdahulu lebih banyak berpikir berdasarkan pengalaman dan praktek di lapangan, sementara penerusnya berpijak pada teori-teori yang dipelajarinya semasa bersekolah.
Selain itu, timpal Eddy Santoso Setiawan, presdir PT Sanex Telekomunikasi Indonesia (SanexTel), generasi pendahulu kerap melihat sesuatu dari posisi budaya dan lebih banyak mengandalkan intuisi. Ini berbeda dengan penerusnya yang memandang persoalan dari sisi fakta, peluang, dan manajemen risiko. Di sinilah, menurut Eddy, sebetulnya titik temu bisa dicapai. "Kalau kami menyodorkan angka-angka, mereka bisa lebih mudah menerima. Sebab, mereka sudah punya cukup pengalaman apakah angka itu cukup realistis atau tidak," ungkapnya.
Ketidakharmonisan Hubungan Bapak-Anak
Sebenarnya, menurut AB Susanto, konflik dalam bisnis keluarga bisa muncul dalam hubungan vertikal (antargenerasi) dan horizontal (sesama generasi), serta di antara generasi penerus dengan para profesional yang lebih banyak merupakan "warisan" generasi pendahulu. "Ketiga hubungan ini sangat potensial memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan bisnis keluarga saat ini," ungkap managing partner The Jakarta Consulting Group itu.
Lebih jauh, AB Susanto mengatakan bahwa potensi konflik dalam hubungan vertikal biasanya dipicu oleh persoalan nilai. Generasi pendahulu, yang biasanya merasa sudah mapan, bersikap lebih hati-hati dan tidak agresif. Sebaliknya, generasi penerus kerap ingin memulai dengan sebuah megaproyek untuk menjauhkan dirinya dari bayang-bayang orang tuanya, dan sering lebih berani mengambil risiko. "Tentu saja untuk menorehkan sejarah dalam bisnis keluarga," ungkap ayah dua anak ini.
Di Blue Bird, potensi konflik vertikal juga ada, terutama kala membahas soal investasi baru. Cuma, di sini, kesadaran akan posisi sebagai generasi yang lebih muda juga muncul. Papar Noni, "Meski kami memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat, ketika sampai ke pengambilan keputusan, itu masih tetap menjadi hak penuh orang tua." Alasannya, "Kami sadar bahwa kami ini sebenarnya NATO (No Action Talking Only). Jadi, kalau orang tua sudah memutuskan, ya kami ikut," ungkapnya. Apalagi hingga kini posisi dirut di Blue Bird memang masih dipegang oleh generasi kedua, yakni Purnomo Prawiro, ayah Noni.
Kresna Priawan Djokosoetono, direktur Grup Pusaka, kelompok usaha yang berada di dalam Grup Blue Bird, mengungkapkan bahwa dalam banyak kesempatan, generasi pendahulu memang memberi kesempatan kepada penerusnya untuk menjalankan usulannya sendiri. "Silakan jalan, tapi risiko tanggung sendiri," ujar Kresna. Jadi, tak setiap usulan dari generasi penerus langsung dimentahkan oleh pendahulunya. Bahkan, akhirnya, di antara mereka berlaku anekdot bahwa siapa yang mengusulkan, maka dia harus siap untuk menjalankannya.
Situasi berbeda dihadapi oleh Eddy Santoso. Katanya, meski terjadi perbedaan pendapat antara generasi penerus dan pendahulu, karena tongkat komando telah diserahkan kepada generasi penerus, maka keputusan tetap berada di tangan generasi penerus. "Adanya perbedaan pendapat kami anggap sebagai masukan atau peringatan untuk menjalankan suatu kebijakan," ungkap Eddy.
Pertentangan antargenerasi juga melanda PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (WGI), khususnya dalam mengelola SDM. Papar presdir WGI, Ary Batubara, "Orang-orang tua lebih mengutamakan perasaan dan rasa kemanusiaan, tetapi generasi sekarang lebih suka menerapkan ukuran dan pendekatan reward & punishment."
Perlu Aturan Main yang Jelas
Potensi konflik juga bisa mencuat akibat tiadanya kejelasan aturan main dalam pengelolaan bisnis keluarga. Menurut AB Susanto, penting bagi pengelola bisnis keluarga untuk menentukan visi dan tujuan perusahaan yang juga diketahui oleh generasi penerusnya. Di dalamnya mesti ada aturan main yang disepakati oleh masing-masing anggota keluarga. "Jika sejak awal sudah dipersiapkan, biasanya ini akan meminimalkan dan bahkan menghindarkan terjadinya konflik dalam pengelolaan bisnis keluarga di antara generasi penerus," ungkapnya.
Aturan main ini meliputi urusan bisnis pribadi di luar bisnis keluarga, serta komitmen mereka terhadap bisnis keluarga. Pasalnya, tak seluruh anggota keluarga memiliki keinginan untuk ikut mengurusi bisnis keluarga. "Ada yang merasa sudah kaya dan mapan sehingga tak perlu lagi mengelola bisnis dan memilih menekuni hobinya yang lain," kata AB Susanto. Tentu pilihan ini harus dihargai.
Langkah itulah yang diambil Indra Sosrodjojo, direktur PT Andal Piranti Lunak. Hanya beberapa bulan setelah ikut mengelola bisnis keluarganya, Grup Sosro, Indra memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri yang bergerak di bisnis perangkat lunak. "Di Grup Sosro, TI hanya menjadi pendukung. Maka, saya lebih suka mengambil jalan sendiri, yaitu membuat TI sebagai bisnis," kata generasi ke-3 keluarga Sosro ini.
Di Grup Sosro, proses suksesi dari generasi ke-2 ke generasi ke-3 berjalan mulus. "Saat ini yang memimpin adalah anak dari adik ayah saya," ungkap Indra. Menurut dia, sejak awal memang tak ada keharusan bagi anggota keluarga untuk ikut mengelola bisnis keluarga. Maka, tak heran kalau empat dari lima orang saudaranya juga memilih untuk merintis bisnis sendiri, mulai dari berbisnis obat nyamuk hingga saus tomat. "Ada satu adik saya yang masih di Sosro," ujarnya.
Boleh berbisnis di luar kompetensi bisnis keluarga juga menjadi aturan tak tertulis di Grup Blue Bird. "Jadi, bisnis generasi penerus tak boleh menjadi pesaing bagi bisnis keluarga," ungkap Noni. Masih di Blue Bird, pembagian tugas antar-generasi penerus yang ikut dalam bisnis keluarga pun boleh dibilang berlangsung mulus karena disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak. "Saya ini konseptor, bukan eksekutor. Maka, saya memilih menangani business development, bukan urusan keuangan. Sedangkan adik-adik saya ada yang menangani TI, ada yang di keuangan," kata Noni.
Lain lagi pengalaman Eddy Santoso, yang justru menilai bahwa keluarganya lebih memilih menghindari konflik antar-generasi penerus. "Ada perasaan tak enak jika harus berbeda pendapat dengan sesama anggota keluarga," ungkapnya. Eddy menekankan, di sini mereka memiliki kepercayaan yang besar satu sama lain.
Pentingnya Membuat "Family Plan"
Potensi konflik dalam bisnis keluarga, menurut AB Susanto, mestinya bisa diminimalkan dengan menciptakan komunikasi yang baik. Generasi pendahulu harus bisa menyampaikan visi dan tujuan perusahaan dengan jelas kepada penerusnya, yang akan mengikuti koridor yang sudah ditetapkan. Setelah jelas, "Dilepas saja, jangan terlalu banyak diintervensi," ujarnya.
Pendapat ini disokong oleh Fery, yang menilai pentingnya membuat blueprint yang disepakati kedua belah pihak. "Ini bisa digunakan sebagai panduan mereka untuk menjalani dan mengembangkan bisnisnya," katanya. Alasannya, masing-masing generasi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Untuk menghindari konflik, AB Susanto menekankan perlunya dibuat aturan main yang jelas dan rencana suksesi sejak dini. "Ini memang masih PR dari orang tua," katanya. Sementara itu, untuk mengatasi konflik antara generasi penerus dan para profesional adalah dengan menerapkan prinsip transparansi. Di sini, setiap karyawan bisa mengikuti perkembangan kinerja para profesionalnya dengan pertumbuhan perusahaan. Jadi, kalau para profesionalnya mampu menunjukkan kinerja yang prima, generasi penerus tak usah terlalu mengotak-atik.

Potensi konflik dalam bisnis keluarga:
  1. Ketika perusahaan mengimplementasikan solusi berbasis TI.
  2. Perbedaan level pendidikan antargenerasi.
  3. Perbedaan pola pikir: Generasi I : Berpikir berdasarkan pengalaman, budaya, dan intuisi. Generasi penerus: Berbasis teori selama di sekolah, melihat fakta, peluang, & risk management.
  4. Perbedaan cara berbisnis: Generasi I Hati-hati dan tidak agresif. Generasi penerus Lebih berani ambil risiko.
  5. Pengelolaan SDM: Generasi I : Mengutamakan rasa kemanusiaan. Generasi penerus Ukuran lebih jelas, memakai sistem reward & punishment.
  6. Tiadanya kejelasan aturan main dalam bisnis keluarga.

Solusi:

  1. Generasi penerus keluar, mendirikan usaha sendiri dengan bidang usaha di luar core competence bisnis orang tuanya.
  2. Go public.
  3. Sedapat mungkin menghindari konflik antargenerasi.
  4. Membuat blueprint yang disepakati segenap anggota keluarga.

Mengubah Core Business: Sukses Memutar Arah Bisnis 180 Derajat

Kala perusahaan tak tumbuh lagi dan kinerjanya terus menurun, itulah saatnya memutar bisnis hingga 180 derajat. Meski bisa dihitung dengan jari, ada beberapa perusahaan yang sukses melakukannya. Kiatnya?
Presdir PT Bumi Resources Tbk., Ari Saptari Hudaya, bisa tersenyum lebar. Perusahaan pertambangan yang dikelolanya tercatat masuk dalam daftar sepuluh besar produsen batu bara dunia. Volume produksinya mencapai lebih dari 37 juta ton batu bara per tahun dengan nilai penjualan US$1 miliar.
Ketika ditemui di kantornya, dengan nada riang Ari mengatakan bahwa keberhasilan perusahaannya saat ini adalah buah dari kerja keras dan perubahan core business yang mereka lakukan sejak tahun 1998. Mengubah core business?
Sampai empat tahun yang lalu PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) masih menyandang nama PT Bumi Modern Tbk. Bisnis Bumi Modern ketika itu adalah bidang perhotelan dan pariwisata dengan total utang pokok cuma Rp90 miliar. Namun, hantaman krisis ekonomi dan melemahnya nilai tukar rupiah membuat Bumi Modern kolaps. Nilai utangnya melonjak menjadi Rp400 miliar!
Dalam kondisi seperti itu, jangankan membayar utang, menutupi biaya operasional hotel-hotelnya saja Bumi Modern tak sanggup. Krisis ekonomi dan politik membuat hotel-hotel Bumi Modern sepi pengunjung. “Akhirnya, sejak 1998, kami memutuskan untuk mengganti core business perusahaan. Kami harus meninggalkan industri perhotelan dan pariwisata,” jelas Ari.
Mulailah Ari beserta jajaran direksi Bumi Modern lainnya menyiapkan business plan untuk mengubah core business. Saat itu ada lima bidang industri yang hendak mereka pilih: agroindustri, perikanan, minyak dan gas bumi, pertambangan dan energi, dan ekowisata. Singkat cerita, pertambangan dan energi akhirnya dianggap paling pas bagi Bumi Modern. Alasannya, tutur alumnus jurusan Teknik Mesin ITB ini, bidang itu mempunyai kesiapan infrastruktur yang paling lengkap dan prospek bisnisnya menguntungkan.
Proses persiapan perubahan core business di Bumi Modern memakan waktu lebih dari dua tahun. Pada September 2000 nama Bumi Modern pun resmi berganti menjadi Bumi Resources. Lalu pada November 2001 BUMI melakukan eksekusi dengan mengakuisisi PT Arutmin Indonesia, yang saat itu merupakan sebuah perusahaan pertambangan batu bara peringkat empat terbesar di Indonesia. Dua tahun kemudian, tepatnya Oktober 2003, BUMI makin memantapkan core business-nya dengan membeli 100% kepemilikan PT Kaltim Prima Coal (KPC). “Mengakuisisi perusahaan tambang batu bara yang sudah berjalan membantu perubahan core business BUMI tanpa kami harus membangun atau mencari wilayah tambang batu bara yang baru,” ungkap Ari. Bisa dibayangkan jika BUMI harus memulai dari nol, pasti akan membutuhkan biaya yang lebih besar dan waktu lebih lama.

Langkah “radikal” seperti BUMI juga dilakukan beberapa perusahaan lain di Indonesia. Masih segar dalam ingatan ketika baru-baru ini Putera Sampoerna memutuskan untuk menjual perusahaan rokoknya untuk masuk ke bisnis baru, yakni agroindustri berbasis kelapa sawit dan tebu serta pembangunan jalan tol. Bisnis baru itu berseberangan jauh dengan industri rokok yang sudah digeluti Putera selama lebih dari 30 tahun.
Selain Bumi Resources dan Putera Sampoerna, ada PT Inti Kapuas Arowana Tbk. yang juga melakukan perubahan bisnis inti dengan memilih sektor perikanan berupa penangkaran dan perdagangan ikan arwana. Padahal, kala masih bernama PT Indah Karya Plasindo, perusahaan ini bergerak dalam bidang manufaktur plastik.
Dalam bidang teknologi informasi (TI) ada kopitime.com. Perusahaan TI yang memiliki situs portal ini kemudian berganti nama menjadi PT Korpora Persada Investama. Namun, bukan cuma namanya yang berganti, bidang usahanya pun berubah total. Kini Korpora Persada bergerak dalam berbagai proyek infrastruktur, seperti galangan kapal, oil storage, dan pembangunan jalan tol.
Selain itu, ada PT Infoasia Teknologi Global yang mengubah core business. Mulanya Infoasia bergerak dalam bisnis TI dan komputer. Namun, setelah mengakuisisi Global Communication Inc, haluan usaha Infoasia berubah ke bisnis telekomunikasi yang berbasis voice over internet protocol (VoIP).
Mengubah Core Business
Mengganti bisnis inti jelas tak semudah membalik telapak tangan. Penuh risiko dan tidak banyak perusahaan yang berani melakukannya. Akan tetapi, jika melihat pengalaman BUMI, Putera Sampoerna, Inti Kapuas Arowana, Infoasia, dan Kopitime, banyak perusahaan yang terpaksa mengubah core business-nya semata-mata sebagai strategi agar bisa “bertahan hidup”. Pilihan yang tersedia adalah: jika tidak berubah, bisa dipastikan tak lama kemudian perusahaan itu akan gulung tikar.
Lalu, apabila kondisi perusahaan terus menurun dan menuju kolaps, apakah selalu harus diikuti dengan perubahan core business? Paulus Bambang W.S., pengamat korporasi, mengutarakan bahwa ada dua penyebab utama mengapa banyak perusahaan mengambil langkah mengganti core business-nya.
Pertama, karena kondisi bisnis dan kinerja perusahaan itu sendiri. “Perubahan core business biasanya dilakukan oleh perusahaan yang sudah merasa kalau bisnisnya sudah mature atau sulit untuk berkembang lagi,” kata Paulus. Dalam kondisi yang demikian, apabila tidak mengubah core business, perusahaan tidak akan tumbuh lagi atau stagnan, bahkan bisa cenderung menurun.
Kondisi seperti itulah yang dialami oleh BUMI, Inti Kapuas Arowana (IIKP), dan Korpora Persada Investama (Kopitime). Ketiga perusahaan tersebut masuk dalam kategori dying company yang perlu segera melakukan perubahan jika masih ingin tetap bertahan hidup.
Alfian Pramana, direktur IIKP, mengatakan bahwa menurunnya kinerja usaha manufaktur plastik menjadi penyebab utama manajemen perusahaannya mengubah kegiatan usaha ke bidang perikanan. “Persaingan usaha plastik yang makin ketat, makin merajalelanya produk Cina di pasar, dan tidak stabilnya harga bahan baku membuat kinerja perusahaan turun drastis,” kata Alfian. Serupa dengan cara yang ditempuh BUMI, IIKP juga memakai pola mengakuisisi perusahaan yang berbisnis ikan arwana yang sudah berjalan, bernama PT Istana Bahari. Perusahaan tersebut berada di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pontianak selama ini memang dikenal sebagai basis wilayah ikan arwana.
Dengan berbisnis ikan hias untuk diekspor ke pasar Asia, seperti Jepang, Taiwan, Singapura, dan Cina, langkah ini terbukti berhasil mendongkrak pendapatan IIKP yang sempat merosot. Pada semester pertama 2005 IIKP berhasil mencatatkan laba bersih Rp2,2 miliar. Padahal ketika masih mengandalkan bisnis plastik, pada tahun 2004 IIKP cuma berhasil mendapatkan laba bersih Rp310 juta. Itu berarti pendapatan IIKP meningkat sekitar tujuh kali lipat. Luar biasa, bukan?

Melakukan perubahan core business juga dilakukan kopitime.com yang sempat menikmati kejayaan situs portal, e-commerce, dan bisnis TI pada awal abad ke-21. Namun, lambat laun kopitime.com harus menerima kenyataan meredupnya bisnis dotcom di Indonesia. Pendapatan yang bersandar pada bisnis TI juga tak banyak membantu, hingga akhirnya perusahaan yang resmi berdiri sejak 13 Maret 2000 ini harus berpikir untuk mengganti jenis usaha utamanya. Mereka lalu membeli PT Cipta Intra Sarana Utama, perusahaan infrastruktur yang bergerak dalam bidang pembuatan galangan kapal dan jalan tol.
“Seiring kondisi perusahaan yang memburuk karena era dotcom telah lewat dan kebetulan ada peluang di bidang industri infrastruktur, pihak manajemen akhirnya sepakat untuk berubah menjadi investment holding company bernama Korpora Persada Investama pada April 2005,” kata Indrajaya Putra Januar, presdir Korpora Persada Investama. Hingga sekarang, 80% bisnis Korpora Persada adalah bidang infrastruktur oil storage di kawasan Cilegon, Jawa Barat, dan berencana membangun jalan tol Ciawi—Sukabumi. Adapun 20% sisanya masih tetap mengandalkan bisnis TI. Sayangnya, karena beberapa proyeknya masih baru berjalan, Indra belum bisa menghitung dampak positif dari perubahan core business-nya bagi pendapatan perusahaan. “Peluang bisnis infrastruktur masih terbuka luas dan berlangsung lama di Indonesia. Jadi, belum bisa diketahui sukses tidaknya,” tambah lulusan Master of Science Electrical Engineering, Western New England College, Massachusetts, AS, ini.
Peluang bisnis baru yang ada di pasar memang bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk mengubah core business. Paulus setuju dengan pendapat itu. “Selain faktor internal bisnis yang makin menurun, bisa jadi memang ada peluang bisnis di luar yang lebih menarik sehingga perusahaan merasa perlu mengubah atau menambah core business,” ujarnya.
Penyebab utama kedua sebuah perusahaan mengubah core business-nya adalah faktor peluang dari eksternal. Dengan kata lain, meski perusahaan yang bersangkutan tidak mengalami masalah, tetapi jika peluang bisnis di luar ternyata lebih menguntungkan, mengapa tidak dicoba? Ini menyerupai pola pengembangan bisnis dan diversifikasi usaha. Core business yang lama tetap berjalan, tetapi sudah tidak menjadi fokus utama lagi sebab manajemen perusahaan lebih memilih untuk merambah bidang bisnis yang baru. Menurut Paulus, dengan metode diversifikasi terlebih dahulu, risiko dan kendala yang bakal dihadapi dalam melakukan perubahan bisnis memang relatif lebih kecil.
Kendala yang Dihadapi
Akan tetapi, tidak ada suatu langkah bisnis yang tanpa risiko. Begitu pula ketika hendak mengganti core business. Paulus berpendapat, risiko terbesar dalam melakukan perubahan core business adalah dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM). “Memang yang paling sulit dalam melakukan perubahan core business adalah menyiapkan SDM yang memiliki core value, core behaviour, dan core competence, sesuai core business perusahaan yang baru,” tandas pria kelahiran Semarang, 21 Mei 1959 ini.
Apa yang dikatakan Paulus dialami pula oleh Ari di Bumi Resources. Setelah mengakuisisi Arutmin dan KPC, masalah yang harus segera diselesaikan adalah menyamakan mindset semua karyawan BUMI, Arutmin, dan KPC yang berjumlah 9.000 orang. “Visi dan misi yang harus dicapai adalah menjadikan Bumi Resources sebagai perusahaan operator pertambangan dalam industri energi related well diversified dan bertaraf internasional pada tahun 2015,” kata Ari.
Menyamakan mindset juga bukan perkara mudah. Hal itu diakui oleh Ari. Menurut pria kelahiran 30 Mei 1959 itu, pada tahap persiapan pergantian core business Bumi Modern (1998—2000), banyak pemegang saham, investor, dan karyawan sendiri yang meragukan kemampuan perusahaan dalam berganti core business. Maka, tak heran jika pada masa-masa itu Ari sering menemui mereka dan harus menerima pertanyaan dari semua lapisan karyawannya yang masih ragu atas perubahan yang dilakukan. “Kuncinya adalah keterbukaan dan komunikasi dengan semua pihak. Biarkanlah waktu yang menjawabnya,” jelas Ari.
Lantas, bagaimana dengan investasi yang harus dikeluarkan? Apakah memerlukan biaya besar ketika perusahaan hendak mengubah core business-nya? Menurut Paulus, biaya yang mesti dikeluarkan ketika hendak melakukan perubahan core business bukanlah menjadi persoalan utama. “Apabila kondisi SDM-nya tidak mengalami perubahan kompetensi, behaviour, dan value yang terlalu besar, maka investasi yang harus dikeluarkan juga tidak begitu besar,” jelas lulusan Mitsui Business Management Course, Jepang itu. Komponen biaya investasi ini sangat tergantung pada seberapa besar perubahan core business yang akan dilakukan dan waktu yang diharapkan untuk menyelesaikan perubahan.
Makin jauh atau tidak berhubungan sama sekali perubahan core business dengan bisnis lamanya, maka investasi yang dikeluarkan juga akan makin besar. Begitu pula apabila batas waktu perubahan core business diharapkan terjadi dalam waktu singkat, maka ada risiko biaya jadi membengkak. Akan jauh berbeda keadaannya jika perubahan dilakukan secara bertahap dan waktunya juga lebih panjang.
“Dalam periode persiapan adaptasi perubahan core business Bumi Modern, semuanya hanya menelan biaya tak lebih dari Rp600 juta,” terang Ari. Biaya itu habis digunakan untuk membayar konsultan ahli dalam bidang pertambangan dan biaya operasional kantor selama dua tahun. Ini tentu di luar biaya akuisisi Arutmin dan KPC. Soal besar kecilnya komponen biaya investasi perubahan core business, baik Ari maupun Indrajaya sepakat bahwa biaya yang dikeluarkan relatif kecil.
Akhirnya, memang banyak cara dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Ada yang melalui strategi efisiensi, diversifikasi, atau bahkan melakukan perubahan core business yang bahkan hingga 180 derajat. Lantas, apakah dengan mengubah core business pasti bisa membuat kondisi perusahaan menjadi lebih baik? Jawabannya jelas, ketika kinerja perusahaan terus merosot, melakukan sesuatu—sekecil apa pun—jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.


Kiat-Kiat Mengganti Core Business

  1. Memiliki wawasan futuristik dan keterbukaan terhadap setiap perubahan.
  2. Melakukan analisis studi kelayakan dan business plan terhadap core business baru.
  3. Mempersiapkan sumber daya manusia yang solid untuk menjadi penggerak perubahan (enabler).
  4. Untuk meminimalkan risiko dan biaya, bisa dilakukan melalui diversifikasi jenis usaha terlebih dahulu sambil menimba pengalaman.
  5. Melakukan eksekusi perubahan core business di waktu yang tepat. Pola eksekusi bisa dilakukan dengan dua cara: mengakuisisi perusahaan yang sudah ada sebelumnya atau memulai dari nol dengan membuat perusahaan baru.
  6. Meyakini pilihan core business yang telah diambil.

White Swan Online Store