Kala perusahaan tak tumbuh lagi dan kinerjanya terus menurun, itulah saatnya memutar bisnis hingga 180 derajat. Meski bisa dihitung dengan jari, ada beberapa perusahaan yang sukses melakukannya. Kiatnya?
Presdir PT Bumi Resources Tbk., Ari Saptari Hudaya, bisa tersenyum lebar. Perusahaan pertambangan yang dikelolanya tercatat masuk dalam daftar sepuluh besar produsen batu bara dunia. Volume produksinya mencapai lebih dari 37 juta ton batu bara per tahun dengan nilai penjualan US$1 miliar.
Ketika ditemui di kantornya, dengan nada riang Ari mengatakan bahwa keberhasilan perusahaannya saat ini adalah buah dari kerja keras dan perubahan core business yang mereka lakukan sejak tahun 1998. Mengubah core business?
Sampai empat tahun yang lalu PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) masih menyandang nama PT Bumi Modern Tbk. Bisnis Bumi Modern ketika itu adalah bidang perhotelan dan pariwisata dengan total utang pokok cuma Rp90 miliar. Namun, hantaman krisis ekonomi dan melemahnya nilai tukar rupiah membuat Bumi Modern kolaps. Nilai utangnya melonjak menjadi Rp400 miliar!
Dalam kondisi seperti itu, jangankan membayar utang, menutupi biaya operasional hotel-hotelnya saja Bumi Modern tak sanggup. Krisis ekonomi dan politik membuat hotel-hotel Bumi Modern sepi pengunjung. “Akhirnya, sejak 1998, kami memutuskan untuk mengganti core business perusahaan. Kami harus meninggalkan industri perhotelan dan pariwisata,” jelas Ari.
Mulailah Ari beserta jajaran direksi Bumi Modern lainnya menyiapkan business plan untuk mengubah core business. Saat itu ada lima bidang industri yang hendak mereka pilih: agroindustri, perikanan, minyak dan gas bumi, pertambangan dan energi, dan ekowisata. Singkat cerita, pertambangan dan energi akhirnya dianggap paling pas bagi Bumi Modern. Alasannya, tutur alumnus jurusan Teknik Mesin ITB ini, bidang itu mempunyai kesiapan infrastruktur yang paling lengkap dan prospek bisnisnya menguntungkan.
Proses persiapan perubahan core business di Bumi Modern memakan waktu lebih dari dua tahun. Pada September 2000 nama Bumi Modern pun resmi berganti menjadi Bumi Resources. Lalu pada November 2001 BUMI melakukan eksekusi dengan mengakuisisi PT Arutmin Indonesia, yang saat itu merupakan sebuah perusahaan pertambangan batu bara peringkat empat terbesar di Indonesia. Dua tahun kemudian, tepatnya Oktober 2003, BUMI makin memantapkan core business-nya dengan membeli 100% kepemilikan PT Kaltim Prima Coal (KPC). “Mengakuisisi perusahaan tambang batu bara yang sudah berjalan membantu perubahan core business BUMI tanpa kami harus membangun atau mencari wilayah tambang batu bara yang baru,” ungkap Ari. Bisa dibayangkan jika BUMI harus memulai dari nol, pasti akan membutuhkan biaya yang lebih besar dan waktu lebih lama.
Langkah “radikal” seperti BUMI juga dilakukan beberapa perusahaan lain di Indonesia. Masih segar dalam ingatan ketika baru-baru ini Putera Sampoerna memutuskan untuk menjual perusahaan rokoknya untuk masuk ke bisnis baru, yakni agroindustri berbasis kelapa sawit dan tebu serta pembangunan jalan tol. Bisnis baru itu berseberangan jauh dengan industri rokok yang sudah digeluti Putera selama lebih dari 30 tahun.
Selain Bumi Resources dan Putera Sampoerna, ada PT Inti Kapuas Arowana Tbk. yang juga melakukan perubahan bisnis inti dengan memilih sektor perikanan berupa penangkaran dan perdagangan ikan arwana. Padahal, kala masih bernama PT Indah Karya Plasindo, perusahaan ini bergerak dalam bidang manufaktur plastik.
Dalam bidang teknologi informasi (TI) ada kopitime.com. Perusahaan TI yang memiliki situs portal ini kemudian berganti nama menjadi PT Korpora Persada Investama. Namun, bukan cuma namanya yang berganti, bidang usahanya pun berubah total. Kini Korpora Persada bergerak dalam berbagai proyek infrastruktur, seperti galangan kapal, oil storage, dan pembangunan jalan tol.
Selain itu, ada PT Infoasia Teknologi Global yang mengubah core business. Mulanya Infoasia bergerak dalam bisnis TI dan komputer. Namun, setelah mengakuisisi Global Communication Inc, haluan usaha Infoasia berubah ke bisnis telekomunikasi yang berbasis voice over internet protocol (VoIP).
Mengubah Core Business
Mengganti bisnis inti jelas tak semudah membalik telapak tangan. Penuh risiko dan tidak banyak perusahaan yang berani melakukannya. Akan tetapi, jika melihat pengalaman BUMI, Putera Sampoerna, Inti Kapuas Arowana, Infoasia, dan Kopitime, banyak perusahaan yang terpaksa mengubah core business-nya semata-mata sebagai strategi agar bisa “bertahan hidup”. Pilihan yang tersedia adalah: jika tidak berubah, bisa dipastikan tak lama kemudian perusahaan itu akan gulung tikar.
Lalu, apabila kondisi perusahaan terus menurun dan menuju kolaps, apakah selalu harus diikuti dengan perubahan core business? Paulus Bambang W.S., pengamat korporasi, mengutarakan bahwa ada dua penyebab utama mengapa banyak perusahaan mengambil langkah mengganti core business-nya.
Pertama, karena kondisi bisnis dan kinerja perusahaan itu sendiri. “Perubahan core business biasanya dilakukan oleh perusahaan yang sudah merasa kalau bisnisnya sudah mature atau sulit untuk berkembang lagi,” kata Paulus. Dalam kondisi yang demikian, apabila tidak mengubah core business, perusahaan tidak akan tumbuh lagi atau stagnan, bahkan bisa cenderung menurun.
Kondisi seperti itulah yang dialami oleh BUMI, Inti Kapuas Arowana (IIKP), dan Korpora Persada Investama (Kopitime). Ketiga perusahaan tersebut masuk dalam kategori dying company yang perlu segera melakukan perubahan jika masih ingin tetap bertahan hidup.
Alfian Pramana, direktur IIKP, mengatakan bahwa menurunnya kinerja usaha manufaktur plastik menjadi penyebab utama manajemen perusahaannya mengubah kegiatan usaha ke bidang perikanan. “Persaingan usaha plastik yang makin ketat, makin merajalelanya produk Cina di pasar, dan tidak stabilnya harga bahan baku membuat kinerja perusahaan turun drastis,” kata Alfian. Serupa dengan cara yang ditempuh BUMI, IIKP juga memakai pola mengakuisisi perusahaan yang berbisnis ikan arwana yang sudah berjalan, bernama PT Istana Bahari. Perusahaan tersebut berada di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pontianak selama ini memang dikenal sebagai basis wilayah ikan arwana.
Dengan berbisnis ikan hias untuk diekspor ke pasar Asia, seperti Jepang, Taiwan, Singapura, dan Cina, langkah ini terbukti berhasil mendongkrak pendapatan IIKP yang sempat merosot. Pada semester pertama 2005 IIKP berhasil mencatatkan laba bersih Rp2,2 miliar. Padahal ketika masih mengandalkan bisnis plastik, pada tahun 2004 IIKP cuma berhasil mendapatkan laba bersih Rp310 juta. Itu berarti pendapatan IIKP meningkat sekitar tujuh kali lipat. Luar biasa, bukan?
Melakukan perubahan core business juga dilakukan kopitime.com yang sempat menikmati kejayaan situs portal, e-commerce, dan bisnis TI pada awal abad ke-21. Namun, lambat laun kopitime.com harus menerima kenyataan meredupnya bisnis dotcom di Indonesia. Pendapatan yang bersandar pada bisnis TI juga tak banyak membantu, hingga akhirnya perusahaan yang resmi berdiri sejak 13 Maret 2000 ini harus berpikir untuk mengganti jenis usaha utamanya. Mereka lalu membeli PT Cipta Intra Sarana Utama, perusahaan infrastruktur yang bergerak dalam bidang pembuatan galangan kapal dan jalan tol.
“Seiring kondisi perusahaan yang memburuk karena era dotcom telah lewat dan kebetulan ada peluang di bidang industri infrastruktur, pihak manajemen akhirnya sepakat untuk berubah menjadi investment holding company bernama Korpora Persada Investama pada April 2005,” kata Indrajaya Putra Januar, presdir Korpora Persada Investama. Hingga sekarang, 80% bisnis Korpora Persada adalah bidang infrastruktur oil storage di kawasan Cilegon, Jawa Barat, dan berencana membangun jalan tol Ciawi—Sukabumi. Adapun 20% sisanya masih tetap mengandalkan bisnis TI. Sayangnya, karena beberapa proyeknya masih baru berjalan, Indra belum bisa menghitung dampak positif dari perubahan core business-nya bagi pendapatan perusahaan. “Peluang bisnis infrastruktur masih terbuka luas dan berlangsung lama di Indonesia. Jadi, belum bisa diketahui sukses tidaknya,” tambah lulusan Master of Science Electrical Engineering, Western New England College, Massachusetts, AS, ini.
Peluang bisnis baru yang ada di pasar memang bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk mengubah core business. Paulus setuju dengan pendapat itu. “Selain faktor internal bisnis yang makin menurun, bisa jadi memang ada peluang bisnis di luar yang lebih menarik sehingga perusahaan merasa perlu mengubah atau menambah core business,” ujarnya.
Penyebab utama kedua sebuah perusahaan mengubah core business-nya adalah faktor peluang dari eksternal. Dengan kata lain, meski perusahaan yang bersangkutan tidak mengalami masalah, tetapi jika peluang bisnis di luar ternyata lebih menguntungkan, mengapa tidak dicoba? Ini menyerupai pola pengembangan bisnis dan diversifikasi usaha. Core business yang lama tetap berjalan, tetapi sudah tidak menjadi fokus utama lagi sebab manajemen perusahaan lebih memilih untuk merambah bidang bisnis yang baru. Menurut Paulus, dengan metode diversifikasi terlebih dahulu, risiko dan kendala yang bakal dihadapi dalam melakukan perubahan bisnis memang relatif lebih kecil.
Kendala yang Dihadapi
Akan tetapi, tidak ada suatu langkah bisnis yang tanpa risiko. Begitu pula ketika hendak mengganti core business. Paulus berpendapat, risiko terbesar dalam melakukan perubahan core business adalah dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM). “Memang yang paling sulit dalam melakukan perubahan core business adalah menyiapkan SDM yang memiliki core value, core behaviour, dan core competence, sesuai core business perusahaan yang baru,” tandas pria kelahiran Semarang, 21 Mei 1959 ini.
Apa yang dikatakan Paulus dialami pula oleh Ari di Bumi Resources. Setelah mengakuisisi Arutmin dan KPC, masalah yang harus segera diselesaikan adalah menyamakan mindset semua karyawan BUMI, Arutmin, dan KPC yang berjumlah 9.000 orang. “Visi dan misi yang harus dicapai adalah menjadikan Bumi Resources sebagai perusahaan operator pertambangan dalam industri energi related well diversified dan bertaraf internasional pada tahun 2015,” kata Ari.
Menyamakan mindset juga bukan perkara mudah. Hal itu diakui oleh Ari. Menurut pria kelahiran 30 Mei 1959 itu, pada tahap persiapan pergantian core business Bumi Modern (1998—2000), banyak pemegang saham, investor, dan karyawan sendiri yang meragukan kemampuan perusahaan dalam berganti core business. Maka, tak heran jika pada masa-masa itu Ari sering menemui mereka dan harus menerima pertanyaan dari semua lapisan karyawannya yang masih ragu atas perubahan yang dilakukan. “Kuncinya adalah keterbukaan dan komunikasi dengan semua pihak. Biarkanlah waktu yang menjawabnya,” jelas Ari.
Lantas, bagaimana dengan investasi yang harus dikeluarkan? Apakah memerlukan biaya besar ketika perusahaan hendak mengubah core business-nya? Menurut Paulus, biaya yang mesti dikeluarkan ketika hendak melakukan perubahan core business bukanlah menjadi persoalan utama. “Apabila kondisi SDM-nya tidak mengalami perubahan kompetensi, behaviour, dan value yang terlalu besar, maka investasi yang harus dikeluarkan juga tidak begitu besar,” jelas lulusan Mitsui Business Management Course, Jepang itu. Komponen biaya investasi ini sangat tergantung pada seberapa besar perubahan core business yang akan dilakukan dan waktu yang diharapkan untuk menyelesaikan perubahan.
Makin jauh atau tidak berhubungan sama sekali perubahan core business dengan bisnis lamanya, maka investasi yang dikeluarkan juga akan makin besar. Begitu pula apabila batas waktu perubahan core business diharapkan terjadi dalam waktu singkat, maka ada risiko biaya jadi membengkak. Akan jauh berbeda keadaannya jika perubahan dilakukan secara bertahap dan waktunya juga lebih panjang.
“Dalam periode persiapan adaptasi perubahan core business Bumi Modern, semuanya hanya menelan biaya tak lebih dari Rp600 juta,” terang Ari. Biaya itu habis digunakan untuk membayar konsultan ahli dalam bidang pertambangan dan biaya operasional kantor selama dua tahun. Ini tentu di luar biaya akuisisi Arutmin dan KPC. Soal besar kecilnya komponen biaya investasi perubahan core business, baik Ari maupun Indrajaya sepakat bahwa biaya yang dikeluarkan relatif kecil.
Akhirnya, memang banyak cara dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Ada yang melalui strategi efisiensi, diversifikasi, atau bahkan melakukan perubahan core business yang bahkan hingga 180 derajat. Lantas, apakah dengan mengubah core business pasti bisa membuat kondisi perusahaan menjadi lebih baik? Jawabannya jelas, ketika kinerja perusahaan terus merosot, melakukan sesuatu—sekecil apa pun—jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.
Kiat-Kiat Mengganti Core Business
- Memiliki wawasan futuristik dan keterbukaan terhadap setiap perubahan.
- Melakukan analisis studi kelayakan dan business plan terhadap core business baru.
- Mempersiapkan sumber daya manusia yang solid untuk menjadi penggerak perubahan (enabler).
- Untuk meminimalkan risiko dan biaya, bisa dilakukan melalui diversifikasi jenis usaha terlebih dahulu sambil menimba pengalaman.
- Melakukan eksekusi perubahan core business di waktu yang tepat. Pola eksekusi bisa dilakukan dengan dua cara: mengakuisisi perusahaan yang sudah ada sebelumnya atau memulai dari nol dengan membuat perusahaan baru.
- Meyakini pilihan core business yang telah diambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar