White Swan Online Store

Selasa, 02 Desember 2008

Bisnis Keluarga: Indahnya Konflik

Implementasi TI kerap menjadi konflik dalam bisnis keluarga, di samping sejumlah penyebab lainnya. Apa saja? Membuat aturan main dan rencana yang jelas menjadi solusinya.
PT AJBS Swalayan jelas bukan perusahaan yang terlalu besar. Berbasis di Surabaya, aset toko swalayan perkakas teknik ini tahun lalu diperkirakan baru Rp20 miliar. Namun yang mengejutkan, mereka ternyata berani menganggarkan US$1 juta, hampir separo dari total asetnya, untuk membenahi proses bisnisnya dengan menerapkan sistem enterprise resources planning (ERP). Gilakah mereka? Adrianto Suhartono, CEO AJBS, mempunyai kisah menarik tentang terobosannya itu. Secara jujur Adrianto mengaku bahwa pada mulanya banyak pihak yang menganggapnya terlalu nekat. Suara-suara menolak pun bermunculan. Kritik mengalir deras bukan cuma datang dari keluarganya sendiri, tetapi juga dari kolega bisnisnya. Suasana sungguh panas. Namun, Adrianto ngotot. Sebagai CEO, ia merasa paham betul kondisi perusahaannya, apa yang ingin dicapai, dan bagaimana caranya. Investasi ERP, bagi Adrianto, bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi memang perlu untuk memperbaiki proses bisnis AJBS, sehingga mampu menopang pertumbuhan usaha di masa depan. "Walau skala usaha AJBS kecil, kalau kami tak berani berubah, suatu saat pasti tertinggal oleh pesaing," tandas Adrianto. Dia pantang mundur. Akhirnya, pada awal 2002, AJBS pun mulai menerapkan ERP. Hasilnya, bukan cuma mereka yang merasakan, tetapi juga konsumen. Berkat penerapan ERP, mereka jadi lebih mampu memperhitungkan stok barang, sehingga konsumen yang datang tak pernah kecewa. Barang selalu tersedia. Hebatnya lagi, biaya inventori ternyata justru berhasil mereka turunkan.

Tentu tak setiap pebisnis, apalagi dalam perusahaan keluarga, seberani Adrianto--yang meski mendapat tentangan dari keluarga, ia toh nekat jalan terus.
Masih terkait implementasi solusi berbasis teknologi informasi (TI), konflik dalam bisnis keluarga juga mencuat di sebuah kelompok usaha papan atas. Ini dipicu oleh generasi ke-3 yang baru pulang dari sekolahnya di luar negeri dengan membawa mindset baru. "Umumnya mereka bersekolah di AS, sangat mengandalkan TI dan pendekatan kuantitatif," cerita seorang eksekutif di kelompok usaha itu. Mereka juga kerap melecehkan gaya bisnis para pendahulunya yang dianggap ketinggalan zaman. Padahal, para petinggi kelompok ini kerap berbisnis atas dasar kepercayaan, tanpa pendekatan bisnis modern.
Nah, yang membuat repot, lanjut eksekutif itu, para cucu ini kemudian meminta jatah perusahaan baru dari kakeknya. Padahal, kelayakan bisnis dari perusahaan baru itu masih sulit untuk dinilai. Maka, posisi yang sulit pun menimpa para eksekutif profesional yang senior. "Mereka masih terlalu muda dan belum memiliki business wise . Cuma, biar bagaimanapun, mereka anggota keluarga," keluh sang eksekutif tadi. Untunglah, seiring berjalannya waktu, kesenjangan di antara kedua generasi tersebut makin mengecil.
Implementasi TI, Kerap Memicu Konflik
Jika di AJBS Adrianto menghadapi tentangan keras bahkan dari keluarganya sendiri, sementara di kelompok usaha papan atas tadi pendekatan yang TI minded memicu ketegangan di kalangan eksekutif profesionalnya, tidak demikian halnya di Grup Blue Bird. Simak percakapan generasi ke-3-nya, yakni Noni S.A. Purnomo, vice-president business development Grup Blue Bird, dengan Adrianto Djokosoetono (Andre), sang adik, yang kini dipercaya mengelola perusahaan logistik PT Ocean Airline Indonesia, Senin (7/2) pekan lalu:
Andre: Banyak implementasi TI yang gagal karena tidak ada drive dari pemiliknya.
Noni : Kalau orang lain kan susah, ditekan dari atas-bawah. Kami jelas, dari atas ada dukungan penuh.
Andre: Kami seperti jadi bumper. Buat mereka yang resistance, karena yang menjadi bumper pemiliknya, jadi malu-malu. Saya ini bumper-nya Noni. Saat itu saya yang berhadapan langsung dengan mereka.
Noni : Iya, saya minta Andre jadi direktur TI. Kebetulan dia latar belakang pendidikannya dari TI.
Enak, bukan? Rupanya, di kalangan generasi ke-2 pun sudah ada keyakinan bahwa TI tak hanya dipercaya sebagai bekal untuk bersaing di era global, tetapi juga akan mendorong seluruh kegiatan operasional guna mencapai hasil yang maksimal. "Kekuatan kami ada di pengemudi, tetapi teknologi justru menjadi kelemahan kami dalam menghadapi kompetisi internasional," ungkap Noni. Di Blue Bird, implementasi TI pun berlangsung mulus.
Konflik juga kerap muncul akibat adanya perbedaan dalam level pendidikan. Menurut Fery Hartono, direktur PT Total Bisnis Excellent, biasanya, kondisi perusahaan yang tak selaras dengan pengetahuan yang didapat saat bersekolah di luar negeri kerap mendorong generasi penerus membuat kebijakan yang berbeda untuk memperbaikinya. "Apabila masalah ini tidak dikelola dengan baik, ia bisa menjadi pemicu konflik," kata pemilik perusahaan jasa konsultansi manajemen itu.
Pendapat Fery diamini oleh Adrianto. Menurut dia, generasi terdahulu lebih banyak berpikir berdasarkan pengalaman dan praktek di lapangan, sementara penerusnya berpijak pada teori-teori yang dipelajarinya semasa bersekolah.
Selain itu, timpal Eddy Santoso Setiawan, presdir PT Sanex Telekomunikasi Indonesia (SanexTel), generasi pendahulu kerap melihat sesuatu dari posisi budaya dan lebih banyak mengandalkan intuisi. Ini berbeda dengan penerusnya yang memandang persoalan dari sisi fakta, peluang, dan manajemen risiko. Di sinilah, menurut Eddy, sebetulnya titik temu bisa dicapai. "Kalau kami menyodorkan angka-angka, mereka bisa lebih mudah menerima. Sebab, mereka sudah punya cukup pengalaman apakah angka itu cukup realistis atau tidak," ungkapnya.
Ketidakharmonisan Hubungan Bapak-Anak
Sebenarnya, menurut AB Susanto, konflik dalam bisnis keluarga bisa muncul dalam hubungan vertikal (antargenerasi) dan horizontal (sesama generasi), serta di antara generasi penerus dengan para profesional yang lebih banyak merupakan "warisan" generasi pendahulu. "Ketiga hubungan ini sangat potensial memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan bisnis keluarga saat ini," ungkap managing partner The Jakarta Consulting Group itu.
Lebih jauh, AB Susanto mengatakan bahwa potensi konflik dalam hubungan vertikal biasanya dipicu oleh persoalan nilai. Generasi pendahulu, yang biasanya merasa sudah mapan, bersikap lebih hati-hati dan tidak agresif. Sebaliknya, generasi penerus kerap ingin memulai dengan sebuah megaproyek untuk menjauhkan dirinya dari bayang-bayang orang tuanya, dan sering lebih berani mengambil risiko. "Tentu saja untuk menorehkan sejarah dalam bisnis keluarga," ungkap ayah dua anak ini.
Di Blue Bird, potensi konflik vertikal juga ada, terutama kala membahas soal investasi baru. Cuma, di sini, kesadaran akan posisi sebagai generasi yang lebih muda juga muncul. Papar Noni, "Meski kami memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat, ketika sampai ke pengambilan keputusan, itu masih tetap menjadi hak penuh orang tua." Alasannya, "Kami sadar bahwa kami ini sebenarnya NATO (No Action Talking Only). Jadi, kalau orang tua sudah memutuskan, ya kami ikut," ungkapnya. Apalagi hingga kini posisi dirut di Blue Bird memang masih dipegang oleh generasi kedua, yakni Purnomo Prawiro, ayah Noni.
Kresna Priawan Djokosoetono, direktur Grup Pusaka, kelompok usaha yang berada di dalam Grup Blue Bird, mengungkapkan bahwa dalam banyak kesempatan, generasi pendahulu memang memberi kesempatan kepada penerusnya untuk menjalankan usulannya sendiri. "Silakan jalan, tapi risiko tanggung sendiri," ujar Kresna. Jadi, tak setiap usulan dari generasi penerus langsung dimentahkan oleh pendahulunya. Bahkan, akhirnya, di antara mereka berlaku anekdot bahwa siapa yang mengusulkan, maka dia harus siap untuk menjalankannya.
Situasi berbeda dihadapi oleh Eddy Santoso. Katanya, meski terjadi perbedaan pendapat antara generasi penerus dan pendahulu, karena tongkat komando telah diserahkan kepada generasi penerus, maka keputusan tetap berada di tangan generasi penerus. "Adanya perbedaan pendapat kami anggap sebagai masukan atau peringatan untuk menjalankan suatu kebijakan," ungkap Eddy.
Pertentangan antargenerasi juga melanda PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (WGI), khususnya dalam mengelola SDM. Papar presdir WGI, Ary Batubara, "Orang-orang tua lebih mengutamakan perasaan dan rasa kemanusiaan, tetapi generasi sekarang lebih suka menerapkan ukuran dan pendekatan reward & punishment."
Perlu Aturan Main yang Jelas
Potensi konflik juga bisa mencuat akibat tiadanya kejelasan aturan main dalam pengelolaan bisnis keluarga. Menurut AB Susanto, penting bagi pengelola bisnis keluarga untuk menentukan visi dan tujuan perusahaan yang juga diketahui oleh generasi penerusnya. Di dalamnya mesti ada aturan main yang disepakati oleh masing-masing anggota keluarga. "Jika sejak awal sudah dipersiapkan, biasanya ini akan meminimalkan dan bahkan menghindarkan terjadinya konflik dalam pengelolaan bisnis keluarga di antara generasi penerus," ungkapnya.
Aturan main ini meliputi urusan bisnis pribadi di luar bisnis keluarga, serta komitmen mereka terhadap bisnis keluarga. Pasalnya, tak seluruh anggota keluarga memiliki keinginan untuk ikut mengurusi bisnis keluarga. "Ada yang merasa sudah kaya dan mapan sehingga tak perlu lagi mengelola bisnis dan memilih menekuni hobinya yang lain," kata AB Susanto. Tentu pilihan ini harus dihargai.
Langkah itulah yang diambil Indra Sosrodjojo, direktur PT Andal Piranti Lunak. Hanya beberapa bulan setelah ikut mengelola bisnis keluarganya, Grup Sosro, Indra memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri yang bergerak di bisnis perangkat lunak. "Di Grup Sosro, TI hanya menjadi pendukung. Maka, saya lebih suka mengambil jalan sendiri, yaitu membuat TI sebagai bisnis," kata generasi ke-3 keluarga Sosro ini.
Di Grup Sosro, proses suksesi dari generasi ke-2 ke generasi ke-3 berjalan mulus. "Saat ini yang memimpin adalah anak dari adik ayah saya," ungkap Indra. Menurut dia, sejak awal memang tak ada keharusan bagi anggota keluarga untuk ikut mengelola bisnis keluarga. Maka, tak heran kalau empat dari lima orang saudaranya juga memilih untuk merintis bisnis sendiri, mulai dari berbisnis obat nyamuk hingga saus tomat. "Ada satu adik saya yang masih di Sosro," ujarnya.
Boleh berbisnis di luar kompetensi bisnis keluarga juga menjadi aturan tak tertulis di Grup Blue Bird. "Jadi, bisnis generasi penerus tak boleh menjadi pesaing bagi bisnis keluarga," ungkap Noni. Masih di Blue Bird, pembagian tugas antar-generasi penerus yang ikut dalam bisnis keluarga pun boleh dibilang berlangsung mulus karena disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak. "Saya ini konseptor, bukan eksekutor. Maka, saya memilih menangani business development, bukan urusan keuangan. Sedangkan adik-adik saya ada yang menangani TI, ada yang di keuangan," kata Noni.
Lain lagi pengalaman Eddy Santoso, yang justru menilai bahwa keluarganya lebih memilih menghindari konflik antar-generasi penerus. "Ada perasaan tak enak jika harus berbeda pendapat dengan sesama anggota keluarga," ungkapnya. Eddy menekankan, di sini mereka memiliki kepercayaan yang besar satu sama lain.
Pentingnya Membuat "Family Plan"
Potensi konflik dalam bisnis keluarga, menurut AB Susanto, mestinya bisa diminimalkan dengan menciptakan komunikasi yang baik. Generasi pendahulu harus bisa menyampaikan visi dan tujuan perusahaan dengan jelas kepada penerusnya, yang akan mengikuti koridor yang sudah ditetapkan. Setelah jelas, "Dilepas saja, jangan terlalu banyak diintervensi," ujarnya.
Pendapat ini disokong oleh Fery, yang menilai pentingnya membuat blueprint yang disepakati kedua belah pihak. "Ini bisa digunakan sebagai panduan mereka untuk menjalani dan mengembangkan bisnisnya," katanya. Alasannya, masing-masing generasi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Untuk menghindari konflik, AB Susanto menekankan perlunya dibuat aturan main yang jelas dan rencana suksesi sejak dini. "Ini memang masih PR dari orang tua," katanya. Sementara itu, untuk mengatasi konflik antara generasi penerus dan para profesional adalah dengan menerapkan prinsip transparansi. Di sini, setiap karyawan bisa mengikuti perkembangan kinerja para profesionalnya dengan pertumbuhan perusahaan. Jadi, kalau para profesionalnya mampu menunjukkan kinerja yang prima, generasi penerus tak usah terlalu mengotak-atik.

Potensi konflik dalam bisnis keluarga:
  1. Ketika perusahaan mengimplementasikan solusi berbasis TI.
  2. Perbedaan level pendidikan antargenerasi.
  3. Perbedaan pola pikir: Generasi I : Berpikir berdasarkan pengalaman, budaya, dan intuisi. Generasi penerus: Berbasis teori selama di sekolah, melihat fakta, peluang, & risk management.
  4. Perbedaan cara berbisnis: Generasi I Hati-hati dan tidak agresif. Generasi penerus Lebih berani ambil risiko.
  5. Pengelolaan SDM: Generasi I : Mengutamakan rasa kemanusiaan. Generasi penerus Ukuran lebih jelas, memakai sistem reward & punishment.
  6. Tiadanya kejelasan aturan main dalam bisnis keluarga.

Solusi:

  1. Generasi penerus keluar, mendirikan usaha sendiri dengan bidang usaha di luar core competence bisnis orang tuanya.
  2. Go public.
  3. Sedapat mungkin menghindari konflik antargenerasi.
  4. Membuat blueprint yang disepakati segenap anggota keluarga.

Tidak ada komentar:

White Swan Online Store