oleh : Anthony Dio MartinDirector HR Excellency
"I praise loudly, I blame softly"(Katarina Agung)
"I praise loudly, I blame softly"(Katarina Agung)
Pembaca, saya pernah membaca sebuah kejadian nyata yang membuat saya tergelak renyah. Pada 18 Oktober 2005, harian Daily Times melaporkan seorang narapidana di Rumania memperkarakan Tuhan. Dakwaannya pada Tuhan sangat serius sampai terbawa ke pengadilan.
Narapidana bernama Pavel M ini menyalahkan Tuhan lantaran tidak menyelamatkan dirinya dari godaan dan pekerjaan setan. Ia beranggapan Tuhan sudah membohongi, menyalahgunakan, serta tidak menggunakan kekuasaannya dengan baik sehingga ia masuk penjara.
Bunyi dakwaannya seperti berikut, "Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, bernama Pavel M, yang saat ini di penjara di Timisoara Penitentiary untuk masa tahanan 20 tahun karena membunuh, menyatakan menuntut Tuhan, penghuni surga, telah melakukan kejahatan, yakni membohongi, menutupi, menyalahgunakan kekuasaan, menerima sogokan, serta tidak menggunakan pengaruhnya saat diperlukan."
Dalam surat tuntutannya itu, Pavel menyatakan sebagai seorang umat beragama berarti mengikatkan kontrak antara dirinya dan Tuhan. Tuhan semestinya menjaganya dari setan. Menurutnya, Tuhan sudah mendapatkan berbagai pujian serta doa darinya. Seharusnya, menurutnya, Tuhan menjauhkan dirinya dari setan namun ia tetap melakukan kejahatan, sehingga dihukum. Surat tuntutan itu dilayangkan ke pengadilan di Timisoara yang kemudian dilayangkan ke jaksa penuntut. Tetapi, tampaknya surat ini akan diabaikan, oleh karena sulitnya pengadilan menghadirkan Tuhan.
Kita boleh tertawa. Tapi kelihatannya si Pavel M ini orang serius. Saking tidak ada yang bisa ia salahkan lagi, Tuhan pun ia perkarakan. Biasanya, kita melihat orang yang menyalahkan lingkungan, orang tua, teman, tempat kerja, atasan, dan pasangan hidup. Tapi belum pernah ada yang sampai memperkarakan Tuhan. Mungkin kalau ada penghargaan Blamer of the year, si Pavel M ini layak mendapat hadiah grand prize-nya.
Ada begitu banyak orang yang menyalahkan orang lain dan lingkungan atas nasib buruk yang menimpanya. Orang-orang memang suka blaming (menyalahkan). Di dalam workshop kecerdasan emosional intensif yang saya pimpin, saya seringkali menyebutkan manusia-manusia ini tergolong manusia 'akibat', yang merasa dirinya 'korban' dari keadaan.
Modus operandi atau kebiasaan manusia-manusia 'akibat' ini adalah seringkali menyalahkan. "Bisnis saya gagal akibat kebijakan ekonomi", "Saya gagal mendidik anak karena ortu saya dulu tidak pernah memberi contoh", "Saya jadi rusak karena kekurangan kasih sayang orang tua", "Saya gagal promosi karena bos kurang suka dengan saya", dan masih banyak deretan kalimat lainnya.
Dampak buruk
Ada beberapa dampak buruk dari manusia 'akibat' ini. Pertama, dirinya tidak pernah belajar menjadi dewasa. Mereka tidak pernah belajar dari pengalaman. Mereka selalu menyalahkan apa saja di luar dirinya. Mereka bersifat kekanak-kanakan. Kesalahan akhirnya menjadi seperti spiral yang berulang. Mereka tidak pernah belajar bagaimana keluar dari masalah itu. Ketika seorang baby sitter dipecat oleh majikannya karena sikapnya yang suka main sms, sehingga nyaris membahayakan nyawa bayi jagaannya. Ia menyalahkan atasannya yang cerewet. Namun, di tempat yang baru pun ia dipecat lagi. Hingga berkali-kali.
Salah satu contoh pribadi yang dewasa adalah atlit besar Tiger Woods. Pernah terjadi di mana ia bermain buruk karena faktor cuaca yang tidak bersahabat. Tetapi, sementara pegolf lainnya sibuk menyalahkan cuaca, ia lebih melihatnya sebagai ketidakmampuan bermain baik di cuaca yang buruk. Ia tidak menyalahkan cuaca dan dengan demikian ia menjadi pegolf professional terbaik, bukan saja dari sisi kemampuan tetapi juga mentalnya. Hal ini jadi bisa kita bandingkan dengan atlet maupun klub olah raga kita yang seringkali menyalahkan banyak pihak dan kondisi ketika mereka kalah bertanding. Selamanya kita tidak pernah belajar menjadi dewasa jika kita tidak pernah belajar melihat kontribusi kesalahan kita.
Kedua, tidak belajar bertanggung jawab. Manusia yang menyalahkan orang lain dan lingkungan, akhirnya buta bahwa dia pun patut disalahkan atas kesalahan maupun tindakan kelirunya. Ketika seorang eksekutif diperkarakan karena menilep uang kantornya, ia menyalahkan rekan-rekannya yang melakukan hal ini sebelumnya. Ia merasa hanya karena sial, dialah yang ketahuan. Baginya, yang salah adalah para pendahulu dan rekan-rekannya yang mengajarkan kebiasaan buruk itu.
Ibarat mau menikmati nangka, tapi tidak mau kena getahnya. Itulah yang sering jadi prinsip manusia ini. Mereka selalu mengelak dari tanggung jawab. Karena itulah, manusia ini tidak pernah menjadi seorang yang sungguh-sungguh sukses dalam karir dan hidupnya.
Saya ingat salah satu perusahaan financing terkemuka di Indonesia yang menjadi klien training kami punya tulisan besar-besar di ruangan rapatnya, "Daerah Bebas Kambing Hitam!".
Ketiga, tidak pernah akan menjadi pribadi yang tangguh. Memang, banyak alasan kenapa orang jadi suka menyalahkan orang lain. Termasuk di antaranya karena takut kelihatan buruk, malu mengakui, gengsi, supaya kesalahannya tidak tampak terlalu buruk, mengurangi rasa bersalah atau pun usaha 'bagi-bagi kesalahan' sehingga beban bersalah jadi lebih kecil. Namun, apa pun alasannya, sejauh orang tidak belajar bahwa ia punya kontribusi atas situasi kesalahan yang ia alami, maka pribadi ini tidak akan pernah belajar menanggung risiko.
Ketika ada masalah dan kesulitan, maunya adalah cepat-cepat menghindar. Akibatnya, pribadi ini terus menjadi pribadi yang lembek dan tidak tahan banting. Mereka tidak pernah belajar menjadi pribadi yang lebih tangguh karena tidak belajar bertahan menerima konsekuensi dari sikapnya yang salah. Beberapa contoh pribadi tangguh yang tidak menyalahkan tetapi tetap berusaha bangkit dari keterpurukan yang bisa kita pelajari yakni Donald Trump, yang sempat jatuh bangkrut.
Kita juga bisa belajar dari dari William Suryajaya, mantan bos Astra yang kini tetap berjaya. Mereka punya banyak alasan untuk menyalahkan banyak pihak, tetapi mereka justru menjadi pribadi yang tangguh dan bangun kembali, karena tidak fokus pada 'siapa yang patut dipersalahkan'. Justru kesalahan dan kegagalan membuat mereka menjadi pebisnis yang semakin tangguh. Ada baiknya kita belajar dari ahli psikoterapis Albert Ellis yang saya kagumi, di mana ia mengatakan, "The best years of your life are the ones in which you decide your problems are your own. You do not blame them on your mother, the ecology, or the president. You realize that you control your own destiny." (Tahun terbaik dalam hidupmu adalah ketika engkau melihat masalahmu adalah milikmu sendiri. Engkau tidak usah menyalahkan ibumu, lingkunganmu atau presidenmu. Engkau sadar bahwa engkaulah yang mengendalikan nasibmu." Mungkin nasihat inilah yang harus kita berikan kepada si M Pavel di atas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar