White Swan Online Store

Rabu, 01 April 2009

Bagaimana agar Tidak Gagal ?

Kecerdasan sudah di tangan. Kematangan emosi juga sudah dibangun. Lalu mengapa kita masih juga belum bisa meraih tingkat sukses yang kita inginkan dalam hidup ini? Bagaimana agar kita tidak gagal, dan sebaliknya bisa meraih sukses yang kita inginkan? Ingin tahu jawabannya? Simak yang berikut.

MENGAPA GAGAL ?
Charles Roxburgh dalam artikelnya ”Hidden Flaws in Strategy” yang muncul di McKinsey Quarterly, edisi nomor 2 tahun 2003 mengungkapkan berbagai alasan mengapa seorang pelaku bisnis yang berpikir rasional, bersikap optimis, memiliki pengalaman, dan kemapanan bisa saja mengalami kegagalan atau membuat kesalahan.
Berpikir Rasional?
Dalam bisnis, sebisa mungkin para pelaku bisnis yang saling bersaing tidak mengadakan hubungan kerja sama. Risiko bekerja sama dengan pesaing adalah ditipu atau dikhianati. Dalam sebuah persaingan bisnis juga harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Dan tentu saja, kita harus berusaha menjadi pihak yang menang, karena pemenang akan mendapatkan segalanya. Apa benar demikian?
Secara rasional, memang begitulah yang harus terjadi. Namun, ternyata banyak hal yang bisa lebih baik diraih, yang jika dipikirkan secara rasional sepertinya tidak mungkin bisa terjadi. Banyak strategi inovatif yang bisa memberikan hasil yang berlipat kali lebih besar jika dibandingkan strategi yang hanya didasarkan pada rasionalitas semata. Misalnya: Dalam kasus ATM Link, para pesaing bisnis bisa saling berkolaborasi—beberapa bank berkolaborasi untuk membangun jaringan ATM yang bisa digunakan oleh nasabah dari setiap anggota bank yang bekerja sama tersebut. Hasilnya: tiap bank mendapat nilai tambah untuk memperkuat bisnis masing-masing.
Kondisi yang ”tidak rasional” ini bisa memberikan kemenangan untuk pihak-pihak yang saling berkolaborasi (semua pihak menang). Lalu, apakah berpikir rasional itu tidak diperlukan lagi? Berpikir secara rasional tetap diperlukan. Namun, pelaku bisnis perlu juga memperkaya cara berpikir rasional tersebut dengan cara berpikir inovatif untuk menggali cara-cara baru yang dapat melipatgandakan hasil yang diperoleh.

Bersikap Optimistis ?
Sikap optimistis memang merupakan modal yang penting untuk tetap eksis di dunia bisnis. Namun, jika tidak diterapkan dengan tepat, sikap ini ternyata bisa juga memicu kegagalan. Optimisme yang berlebihan akan menghasilkan kualitas pengambilan keputusan buruk, dan tingkat akurasi dalam pembuatan perkiraan-perkiraan perolehan keuntungan yang realisasinya jauh dari apa yang tertera dalam rencana.
Optimisme yang berlebihan sering kali menyebabkan pelaku bisnis menyusun perkiraan-perkiraan yang terlalu positif, tanpa memperhitungkan kendala, kerugian, tantangan yang mungkin menghadang. Akibatnya, jika ternyata kendala menjelang, para pelaku bisnis yang terlalu optimistis tersebut menjadi tidak siap, dan cenderung melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan di bawah tekanan atau kepanikan.
Charles Roxbourgh mengusulkan tiga cara untuk menghindari kegagalan akibat optimisme yang berlebihan.
Cara pertama adalah menyusun beberapa skenario yang mungkin terjadi, misalnya: skenario optimistis, skenario untuk kondisi normal dan pesimistis. Tiap skenario perlu dilengkapi dengan beberapa alternatif tindakan.
Cara kedua adalah mengurangi tingkat optimisme dari skenario positif sebanyak 20 sampai 25 persen.
Cara ketiga adalah memberi bumper fleksibilitas bagi tiap keputusan optimistis yang diambil (yaitu, dengan memberikan batas atas dan batas bawah), dan mempertimbangkan alternatif yang lebih banyak.

Orientasi pada Keuntungan ?
Bisnis hendaknya berorientasi pada keuntungan. Ini merupakan pemikiran yang wajar saja. Jadi, para pelaku bisnis akan berusaha untuk meraih ”keuntungan” besar. Misalnya saja sebuah perusahaan otomotif sudah menginvestasikan dana sebesar 10 miliar rupiah untuk meluncurkan jenis mobil baru di beberapa daerah yang diperkirakan sebagai pasar unggulan.
Jika ternyata terjadi kekeliruan dalam estimasi target penjualan, perusahaan otomotif tersebut, dengan berpikir harus mencari keuntungan, akan cenderung menyuntikkan dana tambahan 1 miliar dari pada harus melakukan ”write off” bagi proyek 10 miliar yang sedang berjalan. Padahal, jika perusahaan melakukan ”write off” proyek 10 miliar tersebut, perusahaan bisa menghemat 2 miliar, karena proyek 10 miliar tersebut ternyata tidak memberikan dampak signifikan pada peningkatan daya saing, sehingga tidak perlu lagi tambahan investasi 2 miliar. Apa yang dilakukan perusahaan tersebut untuk berusaha memastikan keuntungan, tidaklah salah jika ternyata tambahan 2 miliar yang akan disuntikkan memang bisa melipatgandakan jumlah unit mobil baru yang dijual. Tantangannya di sini adalah menilai proyek mana yang pantas untuk tetap diselesaikan dengan tambahan investasi, dan proyek mana yang sebaiknya dihentikan saja. Untuk itu, pelaku bisnis perlu melakukan cost-benefit analysis yang mendalam terhadap tambahan investasi yang akan dilakukan. Cara lain yang bisa dilakukan untuk menghindari kesalahan seperti ini adalah menerapkan pendanaan yang terkendali, yaitu menentukan beberapa tolok ukur keunggulan sebelum mencapai target akhir total penjualan yang dirancanakan. Dana investasi tambahan hanya akan dikeluarkan jika perusahaan telah menunjukkan arah kemajuan yang signifikan dalam penjualan.

Kemapanan di Segala Bidang ?
Para pelaku bisnis yang telah puluhan tahun menikmati kemapanan dalam bidang usaha yang ditekuni seringkali terlena dalam kemapanan mereka tersebut. Mereka sulit atau bahkan enggan berubah untuk menyesuaikan diri atau bahkan yang lebih proaktif lagi, yaitu mendahului perubahan zaman dengan menciptakan tren perubahan. Mereka lebih memilih untuk mempertahankan gaya ataupun strategi bisnis mereka yang selama ini telah membawa mereka pada posisi mapan dalam bisnis. Jadi, jika dihadapkan pada pilihan ”berubah”, misalnya dengan memanfaatkan strategi bisnis baru, teknologi baru, ataupun memperbaiki produk mereka dengan menambah fitur baru, mereka sering menolak.
”Perubahan” sepertinya merupakan momok yang harus dihindari dengan cara apa pun. Misalnya dunia ”corporate training” yang sudah mapan dengan menggunakan pembelajaran di kelas. Banyak perusahaan yang masih sulit untuk mengintegrasi e-learning, yang merupakan gaya belajar baru yang mengakomodasi kecepatan perubahan lingkungan bisnis. Padahal dengan mengombinasi kedua gaya belajar ini, ada kemungkinan perusahaan bisa mendapat manfaat ganda, dari pada sekedar melakukan pelatihan tanpa menggunakan teknologi. Ilustrasi di atas bukan dimaksudkan untuk menyanggah perlunya penerapan prinsip kemapanan dalam berbisnis, tapi memotivasi para pebisnis untuk mempertimbangkan secara obyektif strategi yang terbaik yang harus diambil. Untuk menghindari kesalahan yang mungkin timbul dari strategi mempertahankan kemampanan secara membabi buta.

Pengalaman ?
Bagi banyak orang, pengalaman merupakan guru yang baik. Misalnya, jika sampai kuartal terakhir tahun lalu sebuah perusahaan memperoleh keuntungan bersih 1 miliar, tentunya tahun ini, wajar saja jika pemimpin perusahaan tersebut menetapkan target keuntungan yang lebih besar (di atas 1 miliar). Jika tahun lalu perusahaan berhasil mencapai pertumbuhan 3%, belajar dari pengalaman, tidak aneh jika pimpinan perusahaan menargetkan tingkat pertumbuhan yang minimum sama, atau bahkan di atas 3% per tahun.
Sejarah ataupun pengalaman adalah guru yang terbaik, demikian kata pepatah. Namun, di dunia bisnis yang penuh dengan perubahan cepat dan mengagetkan, belajar dari prestasi satu atau dua tahun ke belakang untuk merumuskan strategi beberapa tahun ke depan bisa menimbulkan masalah. Beberapa hasil penelitian pun mengungkapkan bahwa secara statistik tidak ada korelasi positif antara prestasi tahun lalu dan prestasi masa depan. Jadi, pelaku bisnis harus hati-hati dalam melihat ke belakang. Keprihatinan ini juga disampaikan oleh Paul Ormerod dalam bukunya Butterfly Economics. Dalam buku best seller ini, Paul Ormerod memperingatkan para pelaku bisnis untuk tidak gegabah membuat estimasi beberapa tahun ke depan (jangka pendek) yang didasarkan pada pengalaman bisnis tahun sebelumnya. Menurut Ormerod, fluktuasi dalam jangka pendek sangat besar dan sulit bahkan hampir tidak mungkin diramalkan dengan tepat. Ormerod mengusulkan agar para pengambil keputusan lebih baik melihat trend dalam kurun waktu jangka panjang ke belakang (20, 30, bahkan 50 tahun ke belakang), dan memetakan target-target ke depan, juga untuk jangka panjang.

BAGAIMANA AGAR TIDAK GAGAL ?
Memahami kegagalan-kegagalan yang tersembunyi di balik strategi-strategi positif yang banyak diambil oleh para pelaku bisnis memang bukan merupakan jaminan sukses dalam berbisnis. Namun, pemahaman terhadap kesalahan dan kegagalan ini dan cara-cara menghindari agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat membantu pelaku bisnis agar tidak jatuh pada ”dosa” yang sama. Bagaimana caranya ?

Rasional dan Inovatif.
Mengharmonisasikan cara berpikir rasional dan inovatif, menyeimbangkan sikap positif dengan pesimistis, memilih untuk merugi jika memang itu merupakan keputusan terbaik, dan menggoyang kemapanan untuk bangkit dari keterpurukan, bahkan untuk tampil sebagai pemenang di arena persaingan bisnis. Menjadi perusahaan global yang sesungguhnya yang dihargai dan dihormati oleh seluruh orang di seluruh dunia juga merupakan visi global Toyota untuk 2010.

Kemapanan dan Perubahan.
Kemampanan memang terasa nyaman. Namun, dengan sejalannya perubahan yang berputar cepat di dunia bisnis, agar tidak tertinggal, perusahaan yang telah meraih kemapanan perlu juga memikirkan atau membuat rencana untuk secara periodik keluar dari kenyamanan untuk meraih perbaikan dan perubahan ke arah yang positif (lebih baik dari kondisi saat ini). Perubahan bisa saja berupa perbaikan dalam proses, kualitas produk, dan kualitas orang-orang yang menjalankan usaha.

Jangka pendek vs jangka panjang.
Perencana tidak bisa dibuat hanya mengandalkan pengalaman tahun lalu, atau beberapa tahun sebelumnya. Untuk menghindari kegagalan dalam realisasi sebuah rencana, pelaku bisnis perlu lebih melihat trend ke belakang dalam waktu yang lebih panjang. Perencanaan strategis juga perlu disusun dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam jangka waktu yang lebih panjang.

IQ, EQ, SQ.
Kecerdasan bisa ditiru, rasionalitas bisa direkayasa dalam perangkat komputer atau robot. Beberapa jenis binatang pun memiliki emosi. Tetapi yang tidak dimiliki makhluk lain adalah kemampuan spiritual (Spiritual Intelligence), yang dicirikan dengan kemampuan beretika, integritas, kemampuan memiliki visi dan nilai-nilai pribadi yang positif yang menggerakkan pikiran dan tindakan. Jadi, untuk sukses yang berkelanjutan, pelaku bisnis idealnya bisa mengharmonisasikan ketiga kemampuan ini. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga pernah melakukan kesalahan strategi dan mengalami kegagalah dalam bisnis? Mengapa tidak bangkit dengan mempertimbangkan beberapa usulan yang disampaikan oleh Charles Roxburgh, dan beberapa usulan lainnya yang baru saja didiskusikan? Selamat mencoba. Sukses untuk Anda.

Tidak ada komentar:

White Swan Online Store