White Swan Online Store

Jumat, 17 April 2009

INGIN MAJU? KENALI DULU PENGHALANGNYA

Mungkin telah banyak strategi yang telah Anda ketahui, atau bahkan telah Anda terapkan untuk maju meraih sukses. Tetapi, selain strategi, kita juga perlu mengenali penghalangnya. Simak yang berikut.

Kenyamanan (vs Perubahan)
Siapa yang tidak ingin merasa nyaman. Kenyamanan membuat kita merasa lebih berkuasa atas keadaan di sekitar kita. Kenyamanan juga membuat kita merasa lebih percaya diri. Namun seringkali kita terlalu tenggelam pada rasa nyaman, sehingga kita tidak memiliki keinginan lagi untuk berubah dan untuk maju. Bahkan, kata ‘berubah’ menjadi momok bagi sebagian orang yang tidak mau meninggalkan kenyamanan. Menurut mereka berubah berarti meninggalkan kenyamanan. Berubah akan disertai dengan kecemasan akan kemungkinan kegagalan, kemungkinan melakukan kesalahan, kemungkinan ditertawakan orang karena terlihat belum mahir dalam mengendalikan keterampilan ataupun menggunakan pengetahuan baru yang sedang kita terapkan.
Yah, berubah memang akan disertai ketidaknyamanan, tetapi ketidaknyamanan ini hanya sementara, yaitu selama masa transisi saja dari kondisi tidak bisa menjadi bisa, dari kondisi tidak tahu menjadi tahu; dari kondisi belum mahir menjadi mahir, sampai akhirnya kita juga akan mencapai kondisi nyaman di tingkat yang lebih tinggi. Jika kita terlalu khawatir akan ketidaknyamanan yang menyertai perubahan, kita tidak akan pernah melaju ke taraf hidup yang lebih tinggi. Seperti juga ketika kita masih sekolah. Jika kita ingin naik kelas, kita perlu belajar hal-hal baru, dan mengambil ujian atas hal-hal baru yang kita pelajari untuk melihat sudah sejauh mana kita menguasai hal-hal baru tersebut yang dapat kita jadikan bekal untuk melaju ke jenjang yang lebih tinggi.

Nanti (vs Sekarang)
Penundaan merupakan pembunuh sukses, begitu kata orang bijak. Mungkin ada benarnya juga. Seringkali dengan berbagai alasan kita menunda untuk memulai sesuatu, atau menyelesaikan sesuatu, sehingga begitu kita benar-benar akan memulai mengerjakannya, kita sudah kehilangan momentum: semangat sudah meredup, kesempatan emas sudah hilang, waktu untuk mengerjakan sudah sangat berkurang, sehingga ketelitian dan kualitas pekerjaan menjadi berkurang.
Kadang kita melakukan penundaan karena menunggu kondisi ”yang lebih baik” atau ”lebih sempurna”. Kesempurnaan bisa dilihat setelah pekerjaan diselesaikan. Jadi, kita tidak bisa menunggu untuk melihat kesempurnaan sebelum memulai melakukan pekerjaan. Yang lebih parah lagi jika kita melakukan penundaan karena kemalasan kita sendiri. Jika akhirnya nanti kita gagal, atau kehilangan kesempatan, pasti kita akan menyesal. Penyesalan muncul bukan karena apa yang sudah kita lakukan, tetapi justru muncul dari apa yang ”tidak sempat” kita lakukan. Sehingga kita merasa penasaran: jika saya sudah memulai usaha sendiri lima tahun lalu, mungkin saya sudah punya mobil sendiri saat ini; jika saya sudah menabung sepuluh tahun yang lalu, mungkin saya sudah bisa membeli rumah saat ini; jika saya jadi mengambil beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lima tahun lalu, tentu saya sekarang sudah memiliki pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih tinggi saat ini.
Yah, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada hal-hal yang tidak sempat kita kerjakan. Kita tidak pernah tahu kesuksesan apa yang bisa kita raih, jika kita menunda untuk memulai memanfaatkan suatu kesempatan. Kita tidak pernah tahu, kesempatan yang datang itu kesempatan emas atau kesempatan biasa, jadi mengapa tidak ambil saja kesempatan, tanpa melakukan penundaan. Lebih baik mulai sekarang, dan mulai dengan yang kecil daripada tidak memulai sama sekali. Jika kita bisa bertekun dari hal yang kecil, dan belajar dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan kecil yang terjadi, tentunya akan lebih mudah bagi kita untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar.

Masa Lalu (vs Masa Depan)
Semakin banyak kita menoleh ke belakang, semakin sedikit kemampuan kita untuk melihat ke depan (John L Mason, Musuh yang disebut Mediokritas, hal. 43). Tentunya, hal ini bukan berarti kita harus melupakan masa lalu sama sekali. Penghalang yang paling sering mengganggu kita adalah kesalahan dan kegagalan di masa lalu. Kita terlalu menyesali kejadian-kejadian menyedihkan ini sehingga kita lupa untuk melihat ke depan.
Kesuksesan masa lalu juga bisa menjadi penghalang. Banyak orang merasa bangga akan kesuksesan mereka di masa lalu, sehingga mereka mempertahankan nostalgia manis masa lalu, dan lupa untuk belajar lagi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan untuk mengukir kesuksesan di masa depan. Kegagalan bakal terjadi akibat kesombongan banyak pebisnis, olahragawan, aktris dan aktor untuk mempertahankan prestasi masa lalu, sehingga mereka lupa bahwa dunia sudah berubah, dan tidak lagi cukup dipertahankan dengan keterampilan dan pengetahuan yang mereka miliki saat ini.
Jadi kesalahan, dan kesuksesan masa lalu janganlah kita biarkan mencegah kita untuk melaju ke masa depan. Justru, kita harus memanfaatkan pelajaran dari masa lalu sebagai bekal mengukir kesuksesan di masa depan. Jadi, fokus kita bukanlah pada masa lalu, tetapi pada kemajuan di masa depan (masa lalu hanya sebagai penunjang saja).
Dulu ketika penulis masih belajar di sekolah dasar, ada penjual bakso di samping sekolah. Bakso yang dijualnya menjadi favorit anak-anak sekolah pada masa itu. Lima belas tahun kemudian, ketika penulis berkunjung ke sekolah tersebut, ternyata si penjual bakso masih ada, dengan gerobak yang masih sama, dan penjual yang sama juga (semuanya masih seperti yang dulu). Padahal di benak penulis, dengan kesuksesan di masa lalu seperti itu, tentunya saat ini si penjual bakso sudah punya tempat atau restoran kecil.
Ternyata tidak, semua masih sama. Jadi apa yang salah? Sebaliknya, si penjual soto mie yang berada tidak jauh dari situ dengan gerobak yang tadinya lebih kecil, ternyata sekarang sudah berjualan di sebuah tempat permanen, dengan beberapa pegawai yang dipekerjakan untuk melayani pengunjung. Kunci suksesnya, ia menambah variasi makanan, tidak hanya soto mie saja, tetapi soto mie plus baso, dan beberapa variasi makanan lainnya sesuai dengan perkembangan selera pengunjung dan keahlian si penjual soto mie yang senantiasa dipupuk terus (dengan bereksperimen menawarkan beberapa menu alternatif).

Rata-rata (vs Unggul)
Sebuah benda berwarna biru di tengah latar belakang dengan warna sejenis, tidak akan terlihat menonjol. Demikian pula dengan prestasi kita. Jika kita sudah puas dengan kualitas rata-rata, seperti yang dilakukan kebanyakan orang, maka kita akan menjadi salah satu dari kebanyakan orang tersebut dan tidak terlihat unggul.
Orang-orang yang unggul memecahkan rekor, menjadi volunteer untuk melakukan suatu perubahan, dan mempersembahkan kualitas pekerjaan yang lebih dari sekedar ”cukup” ataupun lebih dari kualitas rata-rata. Inilah yang membuat mereka ”terlihat” berbeda dari orang kebanyakan. Orang-orang yang berbeda secara positif ini yang banyak meraih keunggulan dan kesuksesan dalam hidup, karena dunia akan merasakan ”perbedaan” dari kehadiran mereka, dan merasakan manfaat dari kualitas pekerjaan mereka yang ”unggul” (di atas rata-rata). Lebih baik bagi kita untuk fokus pada satu atau dua keunggulan dan menjadi luar biasa dalam bidang tersebut, dari pada menjadi ”rata-rata” atau memperlihatkan prestasi yang ”biasa-biasa” saja dalam banyak hal.

Uang (vs Prestasi)
Seringkali segala sesuatu yang kita lakukan kita ukur dengan berapa uang yang kita dapatkan. Kita menyesuaikan prestasi kita dengan uang. Uang menjadi tolok ukur prestasi yang akan kita ukir. Kita sering menolak untuk menunjukkan prestasi optimal kita jika uang yang kita dapatkan tidak optimal. Jika hal ini terus-menerus kita lakukan, maka orang akan berpikir bahwa memang begitulah kemampuan kita. Padahal sebenarnya kita memiliki kelebihan yang tidak kita tunjukkan (karena uang yang kita dapatkan tidak sebanding dengan prestasi yang bisa kita tunjukkan).
Seorang teman penulis, sebut saja namanya Esta, selalu mengukur prestasi kerja yang harus diukirnya dengan uang yang diperoleh. Jadi, ketika ada pekerjaan tambahan yang ditawarkan kepadanya yang berada di luar lingkup tanggung jawab utamanya, ia selalu bertanya: apakah ada imbalan tambahan yang saya dapatkan? Jika tidak ada imbalan tambahan, buat apa saya memberikan prestasi yang lebih? Begitulah yang selalu terjadi. Sehingga akhirnya jika ada kesempatan untuk memperlihatkan kemampuan lebih, atasannya segan untuk menawarkan kepadanya karena ia selalu mengaitkannya dengan uang.
Sebaliknya, rekan kerjanya Ranti tidak pernah segan untuk menunjukkan kelebihannya di berbagai kesempatan tanggung jawab yang ditawarkan. Sehingga, atasannya pun bisa melihat berbagai kelebihan Ranti di luar kemampuan yang memang dituntut dalam pekerjaan intinya. Dengan demikian, ketika ada kesempatan untuk naik jabatan, semua orang tidak heran ketika yang dipilih justru Ranti yang lebih junior dari pada Esta yang beberapa tahun lebih dulu bekerja di perusahaan yang sama. Atasan menilai Ranti mampu untuk menerima tanggung jawab yang lebih tinggi karena selama ini, ketika diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tanggung jawab yang lebih, Ranti bersedia dan mampu menunjukkan keunggulannya (walaupun ketika pekerjaan tambahan tersebut harus dilakukan, ia belum mendapat imbalan tambahan). Ingat hukum menabur & menuai !

Baik (vs Benar)
Sesuatu yang baik belum tentu benar. Seringkali kita terdorong untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya baik, tetapi tidak benar. Kita terdorong untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan, tetapi jika kita beli, kita merasa akan terlihat baik di mata orang. Akibatnya, kita berusaha mendapatkan barang tersebut walaupun kita akhirnya harus pontang-panting melunasi hutang yang kita ambil untuk memperoleh barang tersebut yang sebenarnya tidak terlalu kita perlukan.
Kita juga sering terdorong untuk melakukan hal-hal yang menurut kita akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang ”baik” walaupun hal-hal tersebut belum tentu merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Kita sering terdorong untuk meng”iya”kan permintaan-permintaan dari banyak orang, padahal belum tentu kita sanggup untuk mengerjakannya. Kita takut untuk menolak karena takut di ”cap” tidak baik, pelit, tidak perhatian, tidak mau menolong teman, ataupun tidak punya solidaritas. Sehingga akhirnya kita mengiyakan saja semua permintaan yang diajukan. Kita pun akhirnya harus pontang-panting untuk memenuhi permintaan-permintaan tersebut dan seringkali kita harus mengorbankan banyak hal untuk itu. Dan karena kita mengerjakannya dengan terburu-buru, hasilnya pun seringkali tidak sebaik yang kita harapkan ataupun yang diharapkan orang lain. Kerugian akhirnya ada di pihak kita juga.
Melakukan hal benar memang berisiko tidak bisa menyenangkan semua orang, tetapi perlu dilakukan karena hal itu sejalan dengan tujuan yang akan kita capai. Jadi, tantangannya adalah membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang benar. Seringkali kita bisa mendapatkan keduanya (baik dan benar), tetapi adakalanya kita juga harus memilih antara melakukan hal yang baik tetapi tidak benar, atau hal yang benar namun pada saat itu terlihat kurang baik. Jika kita ingin maju, kita harus berani mengambil tanggung jawab berikut risikonya untuk melakukan yang benar.

Ingin maju? Kenali dan atasi penghalangnya. Selamat mencoba.

Tidak ada komentar:

White Swan Online Store