- Be Proactive
- Begin with the End in Mind
- Put First Things First
- Think Win-Win
- Seek First to Understand, Then to be Understood
- Synergize
- Sharpen the Saw
Pada saat ada ceramahnya di Jakarta beberapa bulan lalu, tak sepatah kata pun Covey menyebut butir-butir buah pikiran terbarunya ini walaupun saya yakin draf buku tersebut sudah ia selesaikan dan dalam proses penerbitan. Waktu itu ia malah sibuk mengupas konsep lamanya mengenai principle-centered leadership. Oleh karena itu, menurut saya, ceramah Covey waktu itu kurang mendapatkan antusiasme hadirin karena memang ia tak menawarkan sesuatu yang baru. Akan tetapi saya kaget ketika buku barunya ini ternyata sudah ada di toko-toko buku, yang berisi pemikiran-pemikiran baru yang, menurut saya, fresh dan inspiring.
Melihat judulnya, gampang ditebak bahwa buku baru ini merupakan sekuel dari buku larisnya terdahulu. Namun, Covey tegas mengatakan bahwa habit kedelapan ini bukanlah sekuel dari 7th habit yang ia telurkan dari buku sebelumnya. Kata Covey, habit kedelapan ini bukanlah habit yang tercecer atau tambahan terhadap ketujuh habit sebelumnya, tetapi memberikan "roh" kepada tujuh habit tersebut. Habit kedelapan memiliki dimensi yang berbeda dari ketujuh habit sebelumnya.
Dan pintarnya Covey, ia mampu menemukan alasan yang elegan untuk menjustifikasi mengapa habit kedelapan ini perlu ada. Tantangan era Knowledge Worker, menurut Covey, membutuhkan mind-set baru, skill-set baru, tool-set baru, dan akhirnya habit baru. Era ini menuntut tak hanya human effectiveness, tetapi lebih jauh lagi, human greatness. Katanya, "... surviving, thriving, innovating, excelling, and leading in this new era will require us to build on and reach beyond effectiveness. The call and need of a new era is for greatness." Dengan kata lain, Covey ingin mengatakan bahwa kalau Anda ingin menjadi effective people, Anda perlu 7 habit. Namun, jika Anda ingin menjadi great people, Anda butuh habit kedelapan. Itu sebabnya buku ini menggunakan subjudul: "From Effectiveness to Greatness".
Lalu, apa habit kedelapan itu? Bunyinya: Find Your Voice and Inspire Others to Find Theirs. Intinya, untuk mencapai greatness, Anda harus bisa menemukan Voice Anda, dan menginspirasi orang lain untuk menemukan Voice mereka masing-masing. Kuncinya di kata "Voice". Voice, menurut Covey, adalah sesuatu yang unik yang dimiliki seseorang ("a unique personal significance"), yang muncul ketika kita menghadapi tantangan mahabesar (great challenges), dan tantangan itulah yang menggerakkan kemampuan (talent) dan energi (passion) kita untuk mewujudkan suatu capaian yang luar biasa alias mencapai greatness. Jadi, Voice adalah semacam "potensi terpendam" yang dimiliki setiap orang untuk mencapai greatness. Voice merupakan "energi spiritual" yang menggerakkan, memotivasi, dan menginspirasi Anda untuk mencapai greatness. Dari sini, saya berani mengatakan bahwa kalau 7 habit Covey sebelumnya berada di dataran intellectual quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ), maka habit kedelapan ini berada di dataran spiritual quotient(SQ). Oleh karena itu, saya melihat buku Covey ini merupakan lompatan (departure) dari buku sebelumnya dari sisi bahwa Covey ini mulai masuk ke wilayah SQ.
Buah pikiran Covey ini makin meyakinkan saya akan pentingnya SQ. Saya berani mengatakan bahwa capaian luar biasa alias greatness hanya bisa terwujud apabila Anda sampai ke dataran spiritual. IQ and EQ lead you to personal effectiveness. SQ will lead you to greatness. Ingat satu hal ini: "Anda tak akan mungkin menjadi orang yang luar biasa hebat kalau Anda tidak spiritual!"
Kalau sudah bicara spiritual, maka kita tak akan lepas dari nurani dan suara hati yang paling jujur. Untuk mencapai greatness, Anda tak cukup hanya memiliki IQ (visi, kompetensi, pengetahuan, inteligensia) dan EQ (motivasi, empati, keuletan), tetapi juga SQ, yaitu suara batin yang paling jujur di dalam lubuk hati Anda. Atau, dalam kata-kata Covey, untuk mencapai greatness, Anda tak cukup memiliki talent (IQ) dan passion (EQ) saja, tetapi juga conscience (SQ).
Untuk tidak larut berteori ria, saya ingin memberi contoh Gandhi dan Soekarno. Anda tentu sepakat dengan saya bahwa dua tokoh besar ini memiliki capaian luar biasa, mereka mampu mencapai greatness. Keutamaan dua tokoh ini bukan terletak pada inteligensia, empati, atau kepandaiannya berorasi, tetapi pada spiritualitas yang memang mereka miliki. Mereka mampu secara jernih mendengarkan suara batin yang paling jujur. Suara batin bahwa penjajahan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan; bahwa setiap negara harus bebas menentukan nasibnya; bahwa penindasan harus dihapuskan dari muka bumi.
Dengan meminjam buah ide Covey, dua tokoh ini telah menemukan Voice mereka. Berlandaskan Voice itulah muncul energi yang luar biasa yang memungkinkan mereka mencapai greatness. Dalam kasus Soekarno, kemampuan proklamator ini dalam menciptakan visi bangsa, mengobarkan semangat merdeka, dan menggalang seluruh komponen bangsa dari Sabang sampai Merauke, menjadi "terbebaskan" dengan danya energi spiritual alias Voice yang telah ia temukan. Dan hebatnya Soekarno, ia mampu menginspirasi seluruh rakyat Indonesia untuk menemukan Voice mereka masing-masing. Maka, jadilah Soekarno orang luar biasa, great people. Saya kira tak hanya Gandhi dan Soekarno saja yang menjadi great people karena berhasil menemukan Voice nya. Tokoh lain dari berbagai bidang: Albert Einstein, Dalai Lama, Yasser Arafat, Aa Gym, Bill Gates, Jack Welch, Mohammad Ali, Thomas Alva Edison, John Lennon, Erin Bronkovich, Miles Davis, Harry Roesli, Munir, melakukan hal yang serupa.
Persis seperti yang dikatakan Covey: "Temukanlah Voice Anda, dan jadilah orang luar biasa !"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar