Sering kita mendengar kasus mark up, peningkatan/penggelembungan nilai sebuah proyek, untuk kepentingan oknum-oknum pejabat pemerintahan. Bagi mereka yang bisnisnya menjadi rekanan dari lembaga pemerintahan, daerah sampai ke pusat, tentu sangat paham hal satu ini. Tapi saat ini penulis bukan ingin mengemukakan kebiasaan yang ada dalam birokrasi pemerintah. Kebiasaan penggelembungan nilai produk & jasa dan proyek, juga terjadi dalam perilaku/praktek bisnis sehari-hari. Hal ini mencerminkan mentalitas sebagian masyarakat bisnis yang tidak transparan dan korup. Tidak banyak beda dengan sebagian birokrasi pemerintah.
Transaksi properti adalah sasaran “empuk” pelaku penggelembungan nilai. Selain nilai proyek, goodwill dan hal intangible, juga mudah di mark up. Semua jenis transaksi properti bisa di mark up, mulai sewa-menyewa, jual-beli dan tukar tambah / tukar guling.
Siapa pelaku penggelembungan ? Tentu orang-orang yang terlibat dan diberi otoritas oleh pihak managemen perusahaan swasta untuk melaksanakan transaksi jual-beli atau sewa-menyewa. Biasanya juga bukan pegawai rendahan, bahkan bisa melibatkan sampai pada manager dan direktur dari perusahaan. Perusahaan yang sudah terkenal dan go publik pun tidak luput dari praktek “mark up”, yang dilakukan oknum-oknum dalam perusahaan.
Alasan dilakukan “mark up” bisa bermacam-macam. Dari yang bernada untuk kepentingan perusahaan, misalnya membeli perabot atau perlengkapan tambahan sampai yang terang-terangan mengatakan untuk dibagi dengan teman-teman pelaku, yang adalah karyawan perusahaan.
Proses transaksi yang digelembungkan nilainya biasanya diketahui oleh pihak penjual atau pemilik properti. Tampaknya pihak pemilik dan penjual cukup paham dengan perilaku oknum pembeli atau penyewa. Penjual dan pemilik memang sudah merelakan dan sepakat untuk mengembalikan nilai “mark up” kepada oknum yang mewakili perusahaan tersebut.
Nilai “ mark up” juga sangat bervariasi, biasanya sekitar 10% - 30%. Tergantung pada nilai transaksinya. Pada transaksi sewa- menyewa biasanya lebih besar dibanding transaksi jual-beli. Banyak juga penjual/pemilik yang keberatan terhadap “mark up” yang berlebihan. Karena pada dasarnya penjual/pemilik terlibat dalam penipuan legal ini. Penjual/pemilik bisa menganggapnya sebagai imbalan/komisi pada oknum perusahaan. Tapi bila nilainya sudah lebih dari kewajaran nilai komisi broker, sekitar 3% - 5%, apakah hal itu bukan hal yang ilegal ?
Mark up bukan monopoli pegawai, manager dan direktur perusahaan. Bahkan pemilik perusahaan pun ada yang mengijinkan dilakukannya penggelembungan. Cara ini untuk memperbesar nilai perolehan aset properti sehingga memperbesar biaya penyusutan. Pada akhirnya mengurangi pajak yang harus dibayar. Berarti ada keuntungan ganda dari praktek tersebut. Pertama kelebihan nilai masuk kekantong pribadi pemilik. Kedua penghematan dari pembayaran pajak perusahaan.
Disisi yang lain praktek “mark up” kadang-kadang juga menguntungkan pemerintah atas pembayaran pajak pembeli & penjual. Dalam transaksi sewa-menyewa properti pajak yang harus dibayar pemilik adalah 10% dari nilai sewa. Begitu juga dalam transaksi jual-beli, ada PPh penjual 5% dan BPHTB (pajak pembeli) juga 5%. Pajak baru diuntungkan bila nilai transaksi benar diaktekan dengan nilai sebenarnya, bukan nilai NJOP (dinilai jual objek pajak).
Kalau kebiasaan melakukan “mark up” ini semakin menular akhirnya dianggap sebagai hal yang lumrah. Bagaimana kita bisa menuntut transparasi pada pemerintah ? Karena orang-orang pemerintahan juga bagian dari masyarakat yang punya kecenderungan untuk bersikap tidak transparan dan korup.
Transaksi properti adalah sasaran “empuk” pelaku penggelembungan nilai. Selain nilai proyek, goodwill dan hal intangible, juga mudah di mark up. Semua jenis transaksi properti bisa di mark up, mulai sewa-menyewa, jual-beli dan tukar tambah / tukar guling.
Siapa pelaku penggelembungan ? Tentu orang-orang yang terlibat dan diberi otoritas oleh pihak managemen perusahaan swasta untuk melaksanakan transaksi jual-beli atau sewa-menyewa. Biasanya juga bukan pegawai rendahan, bahkan bisa melibatkan sampai pada manager dan direktur dari perusahaan. Perusahaan yang sudah terkenal dan go publik pun tidak luput dari praktek “mark up”, yang dilakukan oknum-oknum dalam perusahaan.
Alasan dilakukan “mark up” bisa bermacam-macam. Dari yang bernada untuk kepentingan perusahaan, misalnya membeli perabot atau perlengkapan tambahan sampai yang terang-terangan mengatakan untuk dibagi dengan teman-teman pelaku, yang adalah karyawan perusahaan.
Proses transaksi yang digelembungkan nilainya biasanya diketahui oleh pihak penjual atau pemilik properti. Tampaknya pihak pemilik dan penjual cukup paham dengan perilaku oknum pembeli atau penyewa. Penjual dan pemilik memang sudah merelakan dan sepakat untuk mengembalikan nilai “mark up” kepada oknum yang mewakili perusahaan tersebut.
Nilai “ mark up” juga sangat bervariasi, biasanya sekitar 10% - 30%. Tergantung pada nilai transaksinya. Pada transaksi sewa- menyewa biasanya lebih besar dibanding transaksi jual-beli. Banyak juga penjual/pemilik yang keberatan terhadap “mark up” yang berlebihan. Karena pada dasarnya penjual/pemilik terlibat dalam penipuan legal ini. Penjual/pemilik bisa menganggapnya sebagai imbalan/komisi pada oknum perusahaan. Tapi bila nilainya sudah lebih dari kewajaran nilai komisi broker, sekitar 3% - 5%, apakah hal itu bukan hal yang ilegal ?
Mark up bukan monopoli pegawai, manager dan direktur perusahaan. Bahkan pemilik perusahaan pun ada yang mengijinkan dilakukannya penggelembungan. Cara ini untuk memperbesar nilai perolehan aset properti sehingga memperbesar biaya penyusutan. Pada akhirnya mengurangi pajak yang harus dibayar. Berarti ada keuntungan ganda dari praktek tersebut. Pertama kelebihan nilai masuk kekantong pribadi pemilik. Kedua penghematan dari pembayaran pajak perusahaan.
Disisi yang lain praktek “mark up” kadang-kadang juga menguntungkan pemerintah atas pembayaran pajak pembeli & penjual. Dalam transaksi sewa-menyewa properti pajak yang harus dibayar pemilik adalah 10% dari nilai sewa. Begitu juga dalam transaksi jual-beli, ada PPh penjual 5% dan BPHTB (pajak pembeli) juga 5%. Pajak baru diuntungkan bila nilai transaksi benar diaktekan dengan nilai sebenarnya, bukan nilai NJOP (dinilai jual objek pajak).
Kalau kebiasaan melakukan “mark up” ini semakin menular akhirnya dianggap sebagai hal yang lumrah. Bagaimana kita bisa menuntut transparasi pada pemerintah ? Karena orang-orang pemerintahan juga bagian dari masyarakat yang punya kecenderungan untuk bersikap tidak transparan dan korup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar