Perusahaan keluarga umumnya mempunyai komitmen dan budaya perusahaan yang kuat. Namun, untuk mampu menembus usia 50 tahun, bekal itu saja tak cukup. Apalagi yang diperlukan? Ikuti jurus sukses mereka yang berhasil menembus usia setengah abad.
Tjio Wei Tay kecil sungguh bandel. Enam puluh tahun silam, lelaki kelahiran 8 September 1927 ini suka mencuri buku-buku kakaknya untuk dijual ke Pasar Senen, Jakarta Pusat. Bukan karena naluri kriminal. Anak keempat dari lima bersaudara itu melakukannya selain karena himpitan ekonomi, ia juga kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Maklum, setelah ayahnya, Tjio Koan An, meninggal dunia, ibunya, Tjoa Poppi Nio, harus membanting tulang berdagang buah untuk menghidupi keluarga.
Namun, siapa nyana kalau "jodohnya" justru bermula dari situ. Setelah jatuh bangun, mulailah ia berdagang rokok di Glodok dengan modal Rp50, lalu menekuni usaha penerbitan dan percetakan. Berkat keuletannya, pada 1953 ia mampu mengumpulkan Rp500 yang dijadikannya modal untuk membeli toko di Jl. Kwitang 13, Jakarta Pusat. Pria yang kemudian dikenal dengan nama Haji Masagung ini lalu menggandeng 100 mitra, di antaranya Bung Hatta, Adinegoro, dan H.B. Jassin, untuk mendirikan Toko Gunung Agung (TGA).
Kini, 52 tahun berlalu. Gerai kecil yang sempat disinggahi Bung Karno itu sudah beranak pinak menjadi 29 cabang, tersebar di Jawa dan Bali. Tahun depan, mereka akan membuka lima gerai baru. "Maunya buka di Sumatera atau Kalimantan," seloroh Ketut Masagung, chief operational officer PT Toko Gunung Agung Tbk.
Transformasi bisnis keluarga Masagung dari generasi ke generasi cukup mulus. Tak ada perebutan kekuasaan. Hanya, keluarga Masagung sempat "melupakan" sejenak bisnis yang dirintis orang tuanya. "Pernah suatu masa TGA tiarap karena generasi kedua asyik dengan usahanya sendiri-sendiri," aku Ketut, bungsu dari tiga bersaudara. Beruntung, ia dan dua kakaknya, Putera serta Oka, menyadari bahwa TGA terlalu berharga untuk diabaikan.
Dengan besar hati, keluarga Masagung mempercayakan pengelolaan TGA kepada profesional pada 1989, dan mencatatkan diri ke Bursa Efek Jakarta dua tahun setelahnya. Namun, keluarga masih berhak bekerja di perusahaan tersebut selama mengedepankan profesionalisme. Kini Ryan Masagung, sebagai generasi ketiga, mulai muncul ke permukaan untuk membantu pengelolaan. "Meski Pak Putera Masagung menghendaki keluarga tak terlalu mencampuri pengelolaan, untuk urusan strategi masih dalam koordinasi keluarga," aku Franky Montung Setjoadinata, presdir PT Toko Gunung Agung Tbk. Di lain pihak, Ketut percaya, dengan dukungan profesional, perusahaan yang dirintis ayahnya bisa lebih maju dari sekarang.
Namun, siapa nyana kalau "jodohnya" justru bermula dari situ. Setelah jatuh bangun, mulailah ia berdagang rokok di Glodok dengan modal Rp50, lalu menekuni usaha penerbitan dan percetakan. Berkat keuletannya, pada 1953 ia mampu mengumpulkan Rp500 yang dijadikannya modal untuk membeli toko di Jl. Kwitang 13, Jakarta Pusat. Pria yang kemudian dikenal dengan nama Haji Masagung ini lalu menggandeng 100 mitra, di antaranya Bung Hatta, Adinegoro, dan H.B. Jassin, untuk mendirikan Toko Gunung Agung (TGA).
Kini, 52 tahun berlalu. Gerai kecil yang sempat disinggahi Bung Karno itu sudah beranak pinak menjadi 29 cabang, tersebar di Jawa dan Bali. Tahun depan, mereka akan membuka lima gerai baru. "Maunya buka di Sumatera atau Kalimantan," seloroh Ketut Masagung, chief operational officer PT Toko Gunung Agung Tbk.
Transformasi bisnis keluarga Masagung dari generasi ke generasi cukup mulus. Tak ada perebutan kekuasaan. Hanya, keluarga Masagung sempat "melupakan" sejenak bisnis yang dirintis orang tuanya. "Pernah suatu masa TGA tiarap karena generasi kedua asyik dengan usahanya sendiri-sendiri," aku Ketut, bungsu dari tiga bersaudara. Beruntung, ia dan dua kakaknya, Putera serta Oka, menyadari bahwa TGA terlalu berharga untuk diabaikan.
Dengan besar hati, keluarga Masagung mempercayakan pengelolaan TGA kepada profesional pada 1989, dan mencatatkan diri ke Bursa Efek Jakarta dua tahun setelahnya. Namun, keluarga masih berhak bekerja di perusahaan tersebut selama mengedepankan profesionalisme. Kini Ryan Masagung, sebagai generasi ketiga, mulai muncul ke permukaan untuk membantu pengelolaan. "Meski Pak Putera Masagung menghendaki keluarga tak terlalu mencampuri pengelolaan, untuk urusan strategi masih dalam koordinasi keluarga," aku Franky Montung Setjoadinata, presdir PT Toko Gunung Agung Tbk. Di lain pihak, Ketut percaya, dengan dukungan profesional, perusahaan yang dirintis ayahnya bisa lebih maju dari sekarang.
Konsep Baru, Amunisi Baru
Dari penelusuran Warta Ekonomi, Indonesia ternyata mempunyai banyak perusahaan swasta nasional yang mampu eksis lebih dari 50 tahun. Sebut saja, selain Gunung Agung, masih ada perusahaan rokok HM Sampoerna yang bermula pada 1913; perusahaan jamu Nyonya Meneer yang berdiri sejak 1919; Bank NISP berawal pada 1941; harian Kedaulatan Rakyat menemani masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya mulai 1945; atau perusahaan ban Gadjah Tunggal yang didirikan pada 1951.
Mereka berawal dari bisnis keluarga, dan tetap setia pada bisnis intinya. Kalaupun harus melebarkan sayap, tak jauh-jauh dari bisnis inti. Memang, ada sebagian dari perusahaan-perusahaan itu yang tak dimiliki keluarga pendiri. Namun, sejauh ini, perusahaan-perusahaan itu tetap eksis, menembus setengah abad.
Menjadikan perusahaan eksis lebih dari satu dasawarsa bukan perkara gampang. Apalagi sampai lima dasawarsa. Banyak cobaannya, mulai dari konflik internal yang menjurus pada perpecahan, hingga masalah eksternal yang berkaitan dengan makin ketatnya persaingan, terlebih dengan perusahaan asing.
"Perusahaan yang kuat adalah yang memiliki ciri khas dan kultur kuat," tegas Himawan Wijanarko, GM strategic services The Jakarta Consulting Group. Senada dengan Himawan, Hermawan Kartajaya dalam bukunya 4G Marketing menuliskan bahwa di perusahaan yang mampu bertahan lebih dari 50 tahun akan ditemukan 3 winning characteristic, yaitu kemampuan beradaptasi, budaya perusahaan yang kuat, dan inovasi tiada henti.
Mereka berawal dari bisnis keluarga, dan tetap setia pada bisnis intinya. Kalaupun harus melebarkan sayap, tak jauh-jauh dari bisnis inti. Memang, ada sebagian dari perusahaan-perusahaan itu yang tak dimiliki keluarga pendiri. Namun, sejauh ini, perusahaan-perusahaan itu tetap eksis, menembus setengah abad.
Menjadikan perusahaan eksis lebih dari satu dasawarsa bukan perkara gampang. Apalagi sampai lima dasawarsa. Banyak cobaannya, mulai dari konflik internal yang menjurus pada perpecahan, hingga masalah eksternal yang berkaitan dengan makin ketatnya persaingan, terlebih dengan perusahaan asing.
"Perusahaan yang kuat adalah yang memiliki ciri khas dan kultur kuat," tegas Himawan Wijanarko, GM strategic services The Jakarta Consulting Group. Senada dengan Himawan, Hermawan Kartajaya dalam bukunya 4G Marketing menuliskan bahwa di perusahaan yang mampu bertahan lebih dari 50 tahun akan ditemukan 3 winning characteristic, yaitu kemampuan beradaptasi, budaya perusahaan yang kuat, dan inovasi tiada henti.
Dunia Selalu Berubah
Untuk bertahan, perusahaan dituntut mampu beradaptasi. Dan, pemimpin perusahaan harus mengambil peran terbesar dengan mengerahkan kemampuannya untuk membaca ke mana arah angin perubahan bergerak.
Ketika baru menjabat sebagai presdir TGA, Franky melihat pentingnya melakukan perombakan. Ia menyodorkan konsep penyegaran dan modernisasi, seperti mengubah desain interior, merchandising, dan melihat kembali segmen pasarnya. Sayang, pihak keluarga tak langsung setuju. "Ada kekhawatiran. Menurut mereka, tanpa mengubah konsep pun perusahaan masih bisa eksis," kenang Franky. Setelah berdiskusi cukup lama, rancangan yang disodorkan tahun 2003 baru terealisasi pada kuartal pertama 2004.
Di bawah kepemimpinannya, Franky membedakan gerai berdasarkan faktor demografis. Brand TGA tetap digunakan untuk segmen menengah ke bawah, sementara untuk kalangan atas ia menciptakan TGA Bookstore. Produk, kualitas, dan harga yang ditawarkan jelas berbeda. Begitu juga desain interior dan pilihan lokasi. Hanya mal-mal "mahal" yang ditempati TGA Bookstore. "TGA Bookstore terlihat lebih fresh," katanya. Secara tersirat tampak bahwa Franky menciptakan TGA Bookstore sebagai "amunisi" untuk memenangkan persaingan dengan toko buku asal negeri seberang, yang makin menjamur di Indonesia, khususnya Jakarta.
Budaya perusahaan bukan sekadar peraturan tertulis, dasar operasional, atau sistem kerja. Lebih dari itu, budaya perusahaan adalah esprit de corp, hal yang menjiwai keseharian dan segala aktivitas perusahaan. Simak ketika hampir seluruh staf andal HM Sampoerna dibajak perusahaan pesaing. Performa kerja Sampoerna bukannya menurun signifikan, justru perusahaan pesaing yang tak mampu mengoptimalkan kemampuan orang-orang hebat itu.
Sementara itu, untuk membuat Nyonya Meneer tetap berdiri, Charles Saerang menelurkan serangkaian inovasi. Apalagi, sebagai presdir, ia melihat bahwa peminum jamu masih didominasi generasi tua. Maka, untuk meremajakan pasar, selain tetap memproduksi jamu bubuk, ia menciptakan food supplement, produk kesehatan, produk kecantikan, dan pendukung spa. "Saat ini kami punya 254 macam produk," katanya, bangga.
Ketika baru menjabat sebagai presdir TGA, Franky melihat pentingnya melakukan perombakan. Ia menyodorkan konsep penyegaran dan modernisasi, seperti mengubah desain interior, merchandising, dan melihat kembali segmen pasarnya. Sayang, pihak keluarga tak langsung setuju. "Ada kekhawatiran. Menurut mereka, tanpa mengubah konsep pun perusahaan masih bisa eksis," kenang Franky. Setelah berdiskusi cukup lama, rancangan yang disodorkan tahun 2003 baru terealisasi pada kuartal pertama 2004.
Di bawah kepemimpinannya, Franky membedakan gerai berdasarkan faktor demografis. Brand TGA tetap digunakan untuk segmen menengah ke bawah, sementara untuk kalangan atas ia menciptakan TGA Bookstore. Produk, kualitas, dan harga yang ditawarkan jelas berbeda. Begitu juga desain interior dan pilihan lokasi. Hanya mal-mal "mahal" yang ditempati TGA Bookstore. "TGA Bookstore terlihat lebih fresh," katanya. Secara tersirat tampak bahwa Franky menciptakan TGA Bookstore sebagai "amunisi" untuk memenangkan persaingan dengan toko buku asal negeri seberang, yang makin menjamur di Indonesia, khususnya Jakarta.
Budaya perusahaan bukan sekadar peraturan tertulis, dasar operasional, atau sistem kerja. Lebih dari itu, budaya perusahaan adalah esprit de corp, hal yang menjiwai keseharian dan segala aktivitas perusahaan. Simak ketika hampir seluruh staf andal HM Sampoerna dibajak perusahaan pesaing. Performa kerja Sampoerna bukannya menurun signifikan, justru perusahaan pesaing yang tak mampu mengoptimalkan kemampuan orang-orang hebat itu.
Sementara itu, untuk membuat Nyonya Meneer tetap berdiri, Charles Saerang menelurkan serangkaian inovasi. Apalagi, sebagai presdir, ia melihat bahwa peminum jamu masih didominasi generasi tua. Maka, untuk meremajakan pasar, selain tetap memproduksi jamu bubuk, ia menciptakan food supplement, produk kesehatan, produk kecantikan, dan pendukung spa. "Saat ini kami punya 254 macam produk," katanya, bangga.
Menjual Saham, Mencari Selamat
Himawan Wijanarko tak mengelak bahwa kebanyakan perusahaan panjang umur tadi berawal dari bisnis keluarga. Ia menunjuk ke AS, di mana 70% perusahaan yang tetap melenggang di atas usia 50 tahun berawal dari UKM milik keluarga. Begitu juga di Jepang. "Hanya kini keluarga pendiri tak lagi menjadi pemilik mayoritas," imbuhnya.
Cerita bahwa keluarga pendiri tak lagi menjadi pemilik mayoritas makin sering terdengar akhir-akhir ini. Bank NISP, misalnya, kini 70,62% sahamnya dikuasai Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) Singapura. Atau, berita terheboh ketika Putera Sampoerna menjual seluruh saham HM Sampoerna kepada Phillip Morris awal tahun ini. Sebanyak 40% saham perusahaan yang didirikan kakeknya, Liem Seeng Tee, dijual dengan harga US$2 miliar, atau setara dengan Rp18 triliun. Semuanya "tanpa basa-basi".
Himawan menilai, usaha mengalihkan kepemilikan dengan menjual saham dipicu oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, kata Himawan, keluarga melakukannya demi menyelamatkan diri dari perpecahan. Lihat bagaimana keluarga Hok Liong saling tuding karena salah mengelola perusahaan rokok Bentoel. Keluarga itu di ambang perpecahan saat masing-masing bersikukuh mengajukan gugatan ke pengadilan, hingga hadirnya pihak ketiga, Peter Sondakh dari Grup Rajawali, yang mampu meredam konflik. Setelah berjalan sekian tahun, kini PT Bhakti Investama milik taipan muda Hary Tanoesoedibjo menguasai perusahaan rokok yang didirikan pada 1930 itu.
Sementara itu, Charles Saerang membeli saham milik saudara-saudaranya untuk mempertahankan perusahaan jamu yang didirikan neneknya, Lao Ping Nio, atau dikenal dengan nama Nyonya Meneer. Ia mengaku, dalam kurun waktu 1978-2000, keluarga besarnya sempat pecah gara-gara urusan perusahaan. Konflik mencuat pascakepergian nenek dan ayahnya, Hans Ramana, lantaran memperebutkan hak memimpin perusahaan.
Sebagai jalan keluarnya, Charles memberanikan diri membeli seluruh saham. "Kalau bukan saya, siapa lagi?" kata Charles. Ke depan, lulusan Miami University, Ohio, AS, ini berencana meng-go public-kan Nyonya Meneer. "Saya tak merasa sayang berbagi kepemilikan. Kalau untuk masalah manajemen, kami harus memisahkan antara keluarga dan profesional," katanya, bijak. Dengan mengemban jabatan puncak dan memiliki saham mayoritas, secara otomatis tak ada keluarga yang bisa memprotes keputusan itu.
Untuk alasan eksternal, Himawan menilai keputusan keluarga pendiri lebih didasari tuntutan profesionalitas. Seperti dipaparkan Bobby Gafur S. Umar, presdir PT Bakrie & Brothers (B&B), "B&B sempat krisis berat pada 1997." Perusahaan yang dirintis Achmad Bakrie ini terlilit utang, hampir 90% dalam dolar AS. Celakanya, saat itu nilai tukar dolar AS sedang tinggi-tingginya. Maka, tercetuslah ide restrukturisasi. Kreditur dibujuk agar utangnya bisa dikonversi menjadi saham dengan opsi Bakrie mempunyai kesempatan untuk membelinya suatu hari nanti. Gayung bersambut. Dahulu, 52% kepemilikan dimiliki keluarga, kini mereka hanya menggenggam tak lebih dari 2,5%. "Itu keputusan drastis yang harus diambil keluarga pendiri. Saya rasa tak banyak keluarga yang rela mengorbankan kepemilikannya," kata Bobby.
Cerita bahwa keluarga pendiri tak lagi menjadi pemilik mayoritas makin sering terdengar akhir-akhir ini. Bank NISP, misalnya, kini 70,62% sahamnya dikuasai Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) Singapura. Atau, berita terheboh ketika Putera Sampoerna menjual seluruh saham HM Sampoerna kepada Phillip Morris awal tahun ini. Sebanyak 40% saham perusahaan yang didirikan kakeknya, Liem Seeng Tee, dijual dengan harga US$2 miliar, atau setara dengan Rp18 triliun. Semuanya "tanpa basa-basi".
Himawan menilai, usaha mengalihkan kepemilikan dengan menjual saham dipicu oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, kata Himawan, keluarga melakukannya demi menyelamatkan diri dari perpecahan. Lihat bagaimana keluarga Hok Liong saling tuding karena salah mengelola perusahaan rokok Bentoel. Keluarga itu di ambang perpecahan saat masing-masing bersikukuh mengajukan gugatan ke pengadilan, hingga hadirnya pihak ketiga, Peter Sondakh dari Grup Rajawali, yang mampu meredam konflik. Setelah berjalan sekian tahun, kini PT Bhakti Investama milik taipan muda Hary Tanoesoedibjo menguasai perusahaan rokok yang didirikan pada 1930 itu.
Sementara itu, Charles Saerang membeli saham milik saudara-saudaranya untuk mempertahankan perusahaan jamu yang didirikan neneknya, Lao Ping Nio, atau dikenal dengan nama Nyonya Meneer. Ia mengaku, dalam kurun waktu 1978-2000, keluarga besarnya sempat pecah gara-gara urusan perusahaan. Konflik mencuat pascakepergian nenek dan ayahnya, Hans Ramana, lantaran memperebutkan hak memimpin perusahaan.
Sebagai jalan keluarnya, Charles memberanikan diri membeli seluruh saham. "Kalau bukan saya, siapa lagi?" kata Charles. Ke depan, lulusan Miami University, Ohio, AS, ini berencana meng-go public-kan Nyonya Meneer. "Saya tak merasa sayang berbagi kepemilikan. Kalau untuk masalah manajemen, kami harus memisahkan antara keluarga dan profesional," katanya, bijak. Dengan mengemban jabatan puncak dan memiliki saham mayoritas, secara otomatis tak ada keluarga yang bisa memprotes keputusan itu.
Untuk alasan eksternal, Himawan menilai keputusan keluarga pendiri lebih didasari tuntutan profesionalitas. Seperti dipaparkan Bobby Gafur S. Umar, presdir PT Bakrie & Brothers (B&B), "B&B sempat krisis berat pada 1997." Perusahaan yang dirintis Achmad Bakrie ini terlilit utang, hampir 90% dalam dolar AS. Celakanya, saat itu nilai tukar dolar AS sedang tinggi-tingginya. Maka, tercetuslah ide restrukturisasi. Kreditur dibujuk agar utangnya bisa dikonversi menjadi saham dengan opsi Bakrie mempunyai kesempatan untuk membelinya suatu hari nanti. Gayung bersambut. Dahulu, 52% kepemilikan dimiliki keluarga, kini mereka hanya menggenggam tak lebih dari 2,5%. "Itu keputusan drastis yang harus diambil keluarga pendiri. Saya rasa tak banyak keluarga yang rela mengorbankan kepemilikannya," kata Bobby.
Beda Zaman, Beda Gaya
Beda zaman, pasti beda pula cara dan gaya dalam mengelola bisnis. Kalau generasi pertama, faktor feeling alias intuisi bisnis, menjadi hal terpenting. Generasi berikutnya, tentu ditambahi faktor pengetahuan dan kompetensi. Menurut Himawan, siapa pun yang mengelola perusahaan, dari pihak keluarga atau profesional, sebenarnya sama saja. "Hal yang membedakan adalah soal kompetensi. Selama keluarga memiliki kompetensi dan profesional, mengapa tidak?" katanya. Jika keluarga pendiri memilih menyerahkan pengelolaan kepada profesional, tentu saja kesamaan visi menjadi syarat utama.
Meski terlahir sebagai keluarga Nyonya Meneer, Charles lebih suka bekerja sama dengan profesional ketimbang dengan anggota keluarga. "Kerja jadi lebih rasional dan tak mengandalkan emosi," katanya. Dia juga merasa lebih "merdeka" dalam menjalankan usaha. Pasalnya, "Dulu, sedikit-sedikit saya harus kulo nuwun ke keluarga yang lain, terutama yang lebih tua." Kini, dari 4.000 karyawannya, hanya dua yang mempunyai pertalian darah dengan pemilik: Charles dan kakaknya.
Menurut Bobby, langkah keluarga Bakrie mempercayakan bisnis ke tangan profesional sudah pas. "Kalau di tangan orang lain perusahaan ini untung, mereka juga kebagian. Jadi, buat apa mereka ngrecokin?" ucap Bobby. Apalagi sejak lama B&B dikelola profesional. Sejak Aburizal Bakrie berhenti sebagai CEO, setidaknya ada nama Tanri Abeng, Irwan Sjarkawi, dan kini Bobby. Keputusan keluarga Bakrie ini sesuai dengan hasil survei Arthur Andersen dan Mass Mutual pada 1997. Survei itu menyatakan, 43% perusahaan keluarga berniat menyerahkan pengelolaannya ke pihak luar.
Di tangan profesional, profitabilitas TGA juga membaik. "Setelah house cleaning selama 2002 hingga 2004, laba kami menjadi positif," kata Franky. Per Juni 2005, pertumbuhan penjualannya mencapai 9%, sementara laba bersihnya naik 400% menjadi Rp1,3 miliar. Padahal tahun lalu hanya Rp233 juta. Akhir tahun ini TGA menargetkan laba Rp4 miliar. "Kami fokus memperbaiki keuangan hingga lima tahun ke depan. Membangun fondasi," tegasnya.
Baik Himawan Wijanarko, Ketut Masagung, maupun Charles Saerang mengakui bahwa perusahaan--yang berawal dari bisnis--keluarga mempunyai komitmen dan budaya perusahaan yang tinggi. "Peran kami sebagai generasi penerus adalah mempertahankan budaya perusahaan," kata Ketut.
Meski terlahir sebagai keluarga Nyonya Meneer, Charles lebih suka bekerja sama dengan profesional ketimbang dengan anggota keluarga. "Kerja jadi lebih rasional dan tak mengandalkan emosi," katanya. Dia juga merasa lebih "merdeka" dalam menjalankan usaha. Pasalnya, "Dulu, sedikit-sedikit saya harus kulo nuwun ke keluarga yang lain, terutama yang lebih tua." Kini, dari 4.000 karyawannya, hanya dua yang mempunyai pertalian darah dengan pemilik: Charles dan kakaknya.
Menurut Bobby, langkah keluarga Bakrie mempercayakan bisnis ke tangan profesional sudah pas. "Kalau di tangan orang lain perusahaan ini untung, mereka juga kebagian. Jadi, buat apa mereka ngrecokin?" ucap Bobby. Apalagi sejak lama B&B dikelola profesional. Sejak Aburizal Bakrie berhenti sebagai CEO, setidaknya ada nama Tanri Abeng, Irwan Sjarkawi, dan kini Bobby. Keputusan keluarga Bakrie ini sesuai dengan hasil survei Arthur Andersen dan Mass Mutual pada 1997. Survei itu menyatakan, 43% perusahaan keluarga berniat menyerahkan pengelolaannya ke pihak luar.
Di tangan profesional, profitabilitas TGA juga membaik. "Setelah house cleaning selama 2002 hingga 2004, laba kami menjadi positif," kata Franky. Per Juni 2005, pertumbuhan penjualannya mencapai 9%, sementara laba bersihnya naik 400% menjadi Rp1,3 miliar. Padahal tahun lalu hanya Rp233 juta. Akhir tahun ini TGA menargetkan laba Rp4 miliar. "Kami fokus memperbaiki keuangan hingga lima tahun ke depan. Membangun fondasi," tegasnya.
Baik Himawan Wijanarko, Ketut Masagung, maupun Charles Saerang mengakui bahwa perusahaan--yang berawal dari bisnis--keluarga mempunyai komitmen dan budaya perusahaan yang tinggi. "Peran kami sebagai generasi penerus adalah mempertahankan budaya perusahaan," kata Ketut.
Resep Menembus Setengah Abad
- Melihat arah perubahan sebagai bekal beradaptasi dan menentukan langkah selanjutnya.
- Melakukan segala pembaruan dan inovasi agar tidak ketinggalan zaman.
- Melakukan transformasi bisnis dan suksesi kepemimpinan dengan mulus.
- Menyerahkan pengelolaan kepada manajemen yang profesional. Tak terpaku pemimpin harus berasal dari anggota keluarga atau profesional murni.
- Menciptakan kultur perusahaan yang kuat.
- Melepaskan kepentingan dan ambisi pribadi.
- Jangan melebarkan sayap terlalu jauh dari bisnis utama induknya (core business).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar